Sabtu, 11 Maret 2017



Kakakku hero

          Matahari semakin memancarkan sinarnya. Memberi kehangatan di bumi yang besar ini. Pagi kembali hadir, dan manusia melakukan aktivitas seperti biasa.
            Rumah bercat dinding putih itu sudah terdengar ramai. Bukan hanya orang yang menghuni tempat itu saja, tetapi juga hewan yang berada di sekitar istana sederhana tersebut.
            Gadis berkuncir satu itu sudah duduk di motor matik berwarna hitam itu. Perlahan ia menyalakan kendaraan itu, lalu memencat klakson. “Tiara, cepetan udah siang nih,” gerutunya kesal.
            “Iya sebentar,” jawab gadis berseragam putih abu-abu itu. Dengan terburu-buru ia memakai sepatu hitamnya, kemudian berjalan menuju halaman rumah tepat di bawah pohon rindang tempat kurungan ayam berbentuk bulat itu. Ia mencium tangan laki-laki yang dari tadi sibuk memberi makan ayam jago itu. “Babe, Tiara berangkat ya. Assalamualaikum,” ucapnya sambil membalikkan badan, lalu duduk di motor hitam tersebut.
            Laki-laki berambut separuh putih itu berkacak pinggang. “Iye, hati-hati ye. Waalaikumsalam,” jawabnya.
            “Be, Tantri berangkat kerja juga ye, Assalamualaikum,” ucap gadis tomboy itu. Ia kemudian berlalu dengan motor matik miliknya.
*
            Ruang kantin sekolah semakin ramai. Gadis berambut panjang itu mendudukkan tubuhnya si kursi panjang yang terbuat dari kayu berwarna coklat itu. Ia memesan semangkuk bakso dan segelas teh manis. Begitu juga dengan teman-temannya yang lain, memesan menu yang sama.
            Remaja itu mengobrol santai, dengan tawa kecil merenyahkan suasana istirahat. Selang beberapa lama pun pesanan mereka sudah disajikan di atas meja.
            “Tiara, gue bingung deh sama lo,” ucap Riska, salah satu temannya.
            “Bingung kenapa lo?” jawab Tiara singkat. Ia sibuk mengaduk bakso dengan saus dan sambal.
            “Lo kenapa sih nggak mau bawa motor sendiri. Padahal lebih asyik kalau kemana-mana naik motor,” tutur Riska to the point.
            Tiara memakan bakso kecil itu satu persatu. “Kan gue udah pernah cerita kalau gue emang nggak bisa naik motor,” jawab gadis itu, jujur.
            “Tapi kan lo harus belajar naik motor juga biar bisa jadi hero kaya kakak lo.” Riska menjelaskan.
            Tiara menaikkan sebelah alisnya. Ia diam sejenak. Mendengar kalimat barusan membuat hatinya menjadi tidak enak. Nafsu makannya hilang.
            “Tiara, jadi kapan lo mau  belajar motor?” tanya remaja di hadapannya , menegaaskan.
            Tiara mengangkat bahunya. “Kapan-kapan,” jawabnya singkat.
*
            Hari sudah gelap. Lampu kamar pun sudah dimatikan. Malam sudah terasa sunyi. Hanya bunyi detik jarum jam yang terus berputar.
            Gadis itu menarik selimutnya, lalu memiringkan tubuhnya ke arah kiri tempat tidur. Ia menatap jendela berbentuk khas betawi. Tatapan itu kosong, hanya pikirannya terus saja bekerja. Entah kenapa ucapan Riska tadi siang selalu terngiang di telinganya.
            “Mungkin benar ucapan Riska. Kak Tantri itu memang hero dari dulu. Bahkan bukan hanya di mata keluarga ini saja, tetapi di mata orang lain juga. Sedangkan gue? Gue hanya gadis manja yang nggak pernah bisa apa-apa, juga nggak bisa mandiri. Sampai kapanpun kak Tantri memang menjadi hero,” pikirnya di benaknya.
            Lamunan itu buyar. Ada suara langkah kaki dari arah pintu. Kemudian pintu terbuka.
            “Pasti itu kak Tantri,” ucap Tiara dalam hati.
            Gadis itu melempar tasnya di kasur empuk itu. Lalu melepaskan jaket hitam berbahan jeans dan menaruhnya di atas kasur. Ia kemudian mengempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Tantri menatap adiknya yang sedang tidur memunggunginya. “Tiara,” panggilnya pelan.
            Tiara memejamkan matanya. Ia tidak menjawab sapaan itu. Aneh memang sepertinya, tapi ia saat ini sedang tidak ingin berbicara dengan gadis tomboy itu. Padahal biasanya malam-malam begini paling seru jika curhat dengan kakaknya itu. Tapi mau diapakan lagi, hatinya sedang tidak nyaman. biarkan sajalah ia berpura-pura tidur. Mungkin lebih baik.
*
            “Tiara, Tantri bangunnnnnnnn,” teriak suara perempuan dari luar kamar.
            Gadis berambut panjang itu terhenyak. Kaget mendengar alarm pagi itu. Ia mendengus kesal. “Iye Nyak sebentar,” jawabnya dengan mata masih menyipit. “Hah, memang sudah kesiangan apa,” gerutunya pada diri sendiri. Ia mencoba bangkit dari kasur itu dan mengerjapkan matanya. Ia menatap jendela dan merasakan sinar hangat itu masuk dari celah kecil jendela tersebut. Matanya kemudian beralih kepada jam dinding yang bergantung itu. “Apa? Sudah hampir jam tujuh. Wah gawaat, gue telat,” teriaknya dengan mata melotot. Ia kemudian berlari menuju kamar mandi.
            Tantri terbangun mendengar teriakan Tiara. Kini giliran ia yang harus rapi-rapi untuk mengantar Tiara sekolah. Nasib seorang kakak, padahal hari ini ia masuk kerja siang. Tantri menghela napas kemudian berjalan menuju meja makan.
            Tentu saja di meja makan sudah ada Babe dan Nyak yang sudah menunggu sejak tadi. Keduanya pun sudah memasang wajah marah, sepertinya pagi ini ia dan Tiara akan mendapat ceramah pagi lagi.
            “Tiara, Tantri gue mau ngomong ame lo berdua,” ucap laki-laki berlogat betawi itu.
            “Iye Be, ada ape?” tanya Tantri pelan.
            Babe menghela napas. “Lame-lame lo pade kalah noh sama si jago. Ayam aje bisa bangun pagi-pagi. Masa lo yang anak gadis bangunnya siang terus. Malu lo sama ayam,” ceplos Babe sekenanya.
            “Iye, Be. Tantri minta maaf. Besok Tantri coba belajar bangun lebih pagi,” jawabnya pelan.
            Mata Babe menatap anak keduanya, Tiara. “Nah lo Tiara, harusnya lo nggak boleh manja sama kakak lo. Kakak lo kan udah cape kerja, masa berangkat sekolah juga dianterin. Lo kan bisa noh naik angkot, atau lo belajar motor,” ucap Babe, menasehati.
            “Iya, Be,” jawab Tiara singkat. Lagi-lagi ia selalu mendapat cap manja di keluarganya sendiri.
            Tantri dan Tiara terburu-buru menghabiskan sepiring nasi goreng dan secangkir teh hangat, sarapan mereka. Kemudian keduanya mencium tangan Babe dan Nyak, lalu beranjak menuju beranda rumah.
            Seperti biasa, kalau sudah telat seperti ini, maka Tantri meminta Tiara pegangan yang kuat, dan kendaraan roda dua itu ia kemudikan dengan kecepatan tinggi.
*
            Lima belas menit kemudian motor hitam itu sudah berhenti tepat di gerbang sekolah. Tantri menatap aneh adiknya tersebut. Sejak tadi di jalan, ia bisa melihat wajah Tiara yang murung dari kaca spion motor.
            “Tiara tunggu, gue mau ngomong ama lo,” ucap Tantri tiba-tiba. Menghentikan Tiara sejenak.
            “Ada apa kak?” jawabnya malas.
            “Lo marah ya sama gue?” tanya Tantri singkat.
            “Nggak kok,” jawab Tiara, mengelak.
            “Nggak perlu ditutupin, gue bisa baca muka lo, kalau lo itu marah sama gue.” Tantri masih tak mau kalah.
            Tiara menghela napas. “Iya gue marah sama lo,” jawabnya jujur. Ia menekuk wajahnya.
            “Alasannya?”
            “Karna gue kesal kak. Semua orang mulai dari Nyak, Babe, sampe teman sekelas gue selalu bilang kalau lo itu hero, sedangkan gue cuma anak manja yang nggak bisa apa-apa,” jawab Tiara dengan mata berkaca-kaca.
            “Astaghfirullah. Ya ampun Tiara.” Tantri terhenyak mendengar kata-kata barusan.
            “Tapi betul kan kak. Dari kecil, kalau ada teman yang jahat sama gue, yang jadi hero itu siapa? Lo kan. Yang suka antar jemput gue siapa? Lo juga kan. Terus gue bisanya apa kak? Gue bisanya nangis,” ucap Tiara. Suaranya kini terdengar serak.
            Tantri menatap Tiara lekat-lekat. “Hey, nggak lo itu nggak manja. Buktinya lo bisa belajar tanpa dibantu, itu kan juga mandiri. Tiara, lo juga bisa jadi hero, tapi bukan saat ini dan bukan dengan jalan kerja kaya gue. Tapi lo bisa jadi hero buat masa depan kita,” ucap Tantri dengan mata berkaca-kaca. Ia memeluk adiknya tersebut. “Jangan nangis, calon hero harus kuat,” bisiknya.
            Tiara mengangguk semangat. “Iya kak, makasi atas supportnya. Maaf gue dari semalam ngambek kaya tadi. Janji deh, besok nggak akan begitu lagi,” ucapnya ceria. Ia mengacungkan jari kelingkingnya sebagai tanda minta maaf.
            Tantri pun membalasnya dengan jari yang sama. “Yaudah masuk gih sana. Udah telat tuh. Inget ye, kalau kakaknya hero, pasti adiknya juga bisa jadi hero. Tapi ingat, tetap harus rajin belajar.” Tantri menyemangati.
            “Siap kakak hero,” jawab Tiara, semangat.
            Gadis itu pun bergegas menuju sekolah. Tidak lupa ia melambaikan tangan pada gadis tomboy itu. “Hari ini ia mendapatkan pelajaran baru, bahwa seorang hero tidak boleh manja, seorang hero harus selalu semangat, dan seorang hero siap memegang tanggung jawab,” tuturnya dalam hati.