Kakakku
hero
Matahari
semakin memancarkan sinarnya. Memberi kehangatan di bumi yang besar ini. Pagi
kembali hadir, dan manusia melakukan aktivitas
seperti biasa.
Rumah
bercat dinding putih itu sudah terdengar ramai. Bukan hanya orang yang menghuni
tempat itu saja, tetapi juga hewan yang berada di sekitar istana sederhana
tersebut.
Gadis
berkuncir satu itu sudah duduk di motor matik berwarna hitam itu. Perlahan ia
menyalakan kendaraan itu, lalu memencat klakson. “Tiara, cepetan udah siang
nih,” gerutunya kesal.
“Iya
sebentar,” jawab gadis berseragam putih abu-abu itu. Dengan terburu-buru ia
memakai sepatu hitamnya, kemudian berjalan menuju halaman rumah tepat di bawah
pohon rindang tempat kurungan ayam berbentuk bulat itu. Ia mencium tangan
laki-laki yang dari tadi sibuk memberi makan ayam jago itu. “Babe, Tiara
berangkat ya. Assalamualaikum,” ucapnya sambil membalikkan badan, lalu duduk di
motor hitam tersebut.
Laki-laki
berambut separuh putih itu berkacak pinggang. “Iye, hati-hati ye. Waalaikumsalam,”
jawabnya.
“Be,
Tantri berangkat kerja juga ye, Assalamualaikum,” ucap gadis tomboy itu. Ia kemudian
berlalu dengan motor matik miliknya.
*
Ruang
kantin sekolah semakin ramai. Gadis berambut panjang itu mendudukkan tubuhnya
si kursi panjang yang terbuat dari kayu berwarna coklat itu. Ia memesan
semangkuk bakso dan segelas teh manis. Begitu juga dengan teman-temannya yang
lain, memesan menu yang sama.
Remaja
itu mengobrol santai, dengan tawa kecil merenyahkan suasana istirahat. Selang
beberapa lama pun pesanan mereka sudah disajikan di atas meja.
“Tiara,
gue bingung deh sama lo,” ucap Riska, salah satu temannya.
“Bingung
kenapa lo?” jawab Tiara singkat. Ia sibuk mengaduk bakso dengan saus dan
sambal.
“Lo
kenapa sih nggak mau bawa motor sendiri. Padahal lebih asyik kalau kemana-mana
naik motor,” tutur Riska to the point.
Tiara
memakan bakso kecil itu satu persatu. “Kan gue udah pernah cerita kalau gue
emang nggak bisa naik motor,” jawab gadis itu, jujur.
“Tapi
kan lo harus belajar naik motor juga biar bisa jadi hero kaya kakak lo.” Riska menjelaskan.
Tiara
menaikkan sebelah alisnya. Ia diam sejenak. Mendengar kalimat barusan membuat
hatinya menjadi tidak enak. Nafsu makannya hilang.
“Tiara,
jadi kapan lo mau belajar motor?” tanya
remaja di hadapannya , menegaaskan.
Tiara
mengangkat bahunya. “Kapan-kapan,” jawabnya singkat.
*
Hari
sudah gelap. Lampu kamar pun sudah dimatikan. Malam sudah terasa sunyi. Hanya
bunyi detik jarum jam yang terus berputar.
Gadis
itu menarik selimutnya, lalu memiringkan tubuhnya ke arah kiri tempat tidur. Ia
menatap jendela berbentuk khas betawi. Tatapan itu kosong, hanya pikirannya
terus saja bekerja. Entah kenapa ucapan Riska tadi siang selalu terngiang di
telinganya.
“Mungkin
benar ucapan Riska. Kak Tantri itu memang hero
dari dulu. Bahkan bukan hanya di mata keluarga ini saja, tetapi di mata
orang lain juga. Sedangkan gue? Gue hanya gadis manja yang nggak pernah bisa
apa-apa, juga nggak bisa mandiri. Sampai kapanpun kak Tantri memang menjadi hero,” pikirnya di benaknya.
Lamunan
itu buyar. Ada suara langkah kaki dari arah pintu. Kemudian pintu terbuka.
“Pasti
itu kak Tantri,” ucap Tiara dalam hati.
Gadis
itu melempar tasnya di kasur empuk itu. Lalu melepaskan jaket hitam berbahan
jeans dan menaruhnya di atas kasur. Ia kemudian mengempaskan tubuhnya ke tempat
tidur. Tantri menatap adiknya yang sedang tidur memunggunginya. “Tiara,”
panggilnya pelan.
Tiara
memejamkan matanya. Ia tidak menjawab sapaan itu. Aneh memang sepertinya, tapi
ia saat ini sedang tidak ingin berbicara dengan gadis tomboy itu. Padahal
biasanya malam-malam begini paling seru jika curhat dengan kakaknya itu. Tapi
mau diapakan lagi, hatinya sedang tidak nyaman. biarkan sajalah ia berpura-pura
tidur. Mungkin lebih baik.
*
“Tiara,
Tantri bangunnnnnnnn,” teriak suara perempuan dari luar kamar.
Gadis
berambut panjang itu terhenyak. Kaget mendengar alarm pagi itu. Ia mendengus
kesal. “Iye Nyak sebentar,” jawabnya dengan mata masih menyipit. “Hah, memang
sudah kesiangan apa,” gerutunya pada diri sendiri. Ia mencoba bangkit dari
kasur itu dan mengerjapkan matanya. Ia menatap jendela dan merasakan sinar
hangat itu masuk dari celah kecil jendela tersebut. Matanya kemudian beralih
kepada jam dinding yang bergantung itu. “Apa? Sudah hampir jam tujuh. Wah
gawaat, gue telat,” teriaknya dengan mata melotot. Ia kemudian berlari menuju
kamar mandi.
Tantri
terbangun mendengar teriakan Tiara. Kini giliran ia yang harus rapi-rapi untuk
mengantar Tiara sekolah. Nasib seorang kakak, padahal hari ini ia masuk kerja
siang. Tantri menghela napas kemudian berjalan menuju meja makan.
Tentu
saja di meja makan sudah ada Babe dan Nyak yang sudah menunggu sejak tadi.
Keduanya pun sudah memasang wajah marah, sepertinya pagi ini ia dan Tiara akan
mendapat ceramah pagi lagi.
“Tiara,
Tantri gue mau ngomong ame lo berdua,” ucap laki-laki berlogat betawi itu.
“Iye
Be, ada ape?” tanya Tantri pelan.
Babe
menghela napas. “Lame-lame lo pade kalah noh sama si jago. Ayam aje bisa bangun
pagi-pagi. Masa lo yang anak gadis bangunnya siang terus. Malu lo sama ayam,”
ceplos Babe sekenanya.
“Iye,
Be. Tantri minta maaf. Besok Tantri coba belajar bangun lebih pagi,” jawabnya
pelan.
Mata
Babe menatap anak keduanya, Tiara. “Nah lo Tiara, harusnya lo nggak boleh manja
sama kakak lo. Kakak lo kan udah cape kerja, masa berangkat sekolah juga
dianterin. Lo kan bisa noh naik angkot, atau lo belajar motor,” ucap Babe,
menasehati.
“Iya,
Be,” jawab Tiara singkat. Lagi-lagi ia selalu mendapat cap manja di keluarganya
sendiri.
Tantri
dan Tiara terburu-buru menghabiskan sepiring nasi goreng dan secangkir teh
hangat, sarapan mereka. Kemudian keduanya mencium tangan Babe dan Nyak, lalu
beranjak menuju beranda rumah.
Seperti
biasa, kalau sudah telat seperti ini, maka Tantri meminta Tiara pegangan yang
kuat, dan kendaraan roda dua itu ia kemudikan dengan kecepatan tinggi.
*
Lima
belas menit kemudian motor hitam itu sudah berhenti tepat di gerbang sekolah.
Tantri menatap aneh adiknya tersebut. Sejak tadi di jalan, ia bisa melihat
wajah Tiara yang murung dari kaca spion motor.
“Tiara
tunggu, gue mau ngomong ama lo,” ucap Tantri tiba-tiba. Menghentikan Tiara
sejenak.
“Ada
apa kak?” jawabnya malas.
“Lo
marah ya sama gue?” tanya Tantri singkat.
“Nggak
kok,” jawab Tiara, mengelak.
“Nggak
perlu ditutupin, gue bisa baca muka lo, kalau lo itu marah sama gue.” Tantri
masih tak mau kalah.
Tiara
menghela napas. “Iya gue marah sama lo,” jawabnya jujur. Ia menekuk wajahnya.
“Alasannya?”
“Karna
gue kesal kak. Semua orang mulai dari Nyak, Babe, sampe teman sekelas gue
selalu bilang kalau lo itu hero,
sedangkan gue cuma anak manja yang nggak bisa apa-apa,” jawab Tiara dengan mata
berkaca-kaca.
“Astaghfirullah.
Ya ampun Tiara.” Tantri terhenyak mendengar kata-kata barusan.
“Tapi
betul kan kak. Dari kecil, kalau ada teman yang jahat sama gue, yang jadi hero itu siapa? Lo kan. Yang suka antar
jemput gue siapa? Lo juga kan. Terus gue bisanya apa kak? Gue bisanya nangis,”
ucap Tiara. Suaranya kini terdengar serak.
Tantri
menatap Tiara lekat-lekat. “Hey, nggak lo itu nggak manja. Buktinya lo bisa
belajar tanpa dibantu, itu kan juga mandiri. Tiara, lo juga bisa jadi hero, tapi bukan saat ini dan bukan
dengan jalan kerja kaya gue. Tapi lo bisa jadi hero buat masa depan kita,” ucap Tantri dengan mata berkaca-kaca.
Ia memeluk adiknya tersebut. “Jangan nangis, calon hero harus kuat,” bisiknya.
Tiara
mengangguk semangat. “Iya kak, makasi atas supportnya.
Maaf gue dari semalam ngambek kaya tadi. Janji deh, besok nggak akan begitu
lagi,” ucapnya ceria. Ia mengacungkan jari kelingkingnya sebagai tanda minta
maaf.
Tantri
pun membalasnya dengan jari yang sama. “Yaudah masuk gih sana. Udah telat tuh.
Inget ye, kalau kakaknya hero, pasti
adiknya juga bisa jadi hero. Tapi
ingat, tetap harus rajin belajar.” Tantri menyemangati.
“Siap
kakak hero,” jawab Tiara, semangat.
Gadis
itu pun bergegas menuju sekolah. Tidak lupa ia melambaikan tangan pada gadis
tomboy itu. “Hari ini ia mendapatkan pelajaran baru, bahwa seorang hero tidak boleh manja, seorang hero harus selalu semangat, dan seorang hero siap memegang tanggung jawab,”
tuturnya dalam hati.