Sabtu, 30 September 2017

Pesan dalam bait
        Andaikan kau datang kembali
        Jawaban apa yang kan ku beri
        Adakah jalan yang kutemui
Untuk kita kembali lagi
 Merdu suara Ruth Sahanaya terdengar melengking di sekitar ruangan. Kemudian menyusul lengkingan suara gadis berambung keriting gantung itu. Gadis cantik itu sedari tadi hanya menyanyi di depan laptop miliknya, membuat video cover yang menampilkan rambutnya yang hitam dan terawat.
"Fa, Aufa!" Teriak seorang perempuan dari dalam kamar yang letaknya tidak jauh dari ruangan tempat gadis itu duduk. "Aufa kecilkan mp3 lagunya," ucapnya lagi.
Aufa menyentuh gambar volume pada layar laptopnya. Ia mengecilkan musik tersebut. Gadis itu kini mengambil gitar berwarna cokelat yang berada tepat di sebelahnya. Perlahan jemarinya yang lentik pun memetik senar pada gitar tersebut. Jarinya yang lain memainkan kunci alat musik itu. Dan... seperti biasa suara gadis itu kembali terdengar melantunkan kata kata indah.
"Assalamualaikum." Suara lelaki bertubuh besar itu terdengar dari pintu rumah itu. Lelaki dengan rambut yang hanya tinggal separuh itu memasuki rumah bergaya pop art tersebut. Ia pun mendudukkan tubuhnya pada sofa berwarna merah itu. Ia duduk di samping gadis itu.
Aufa menghentikan permainan gitarnya. "Pa, dari mana?" Tanyanya menaikkan sebelah alisnya. "Bukannya Papa lagi di belakang ya sedang kasih makan ikan."
Laki-laki dengan rambut yang hampir botak itu menghela napas. Ia menggelengkan kepala. "Fa, kamu tanya Papa dari mana? Kamu, Papa keluar aja nggak tahu." Ia tertawa kecil. Bola matanya yang kini tampak mengecil itu kini menatap mata anaknya tersebut. Sebuah tatapan khawatir yang tersembunyi.
Merasa diperhatikan seperti itu, ia berdeham. "Pa, kok lihat aku seperti itu?" Tanya Aufa menyelidik.
"Papa hanya khawatir sama kamu."
Aufa mengerutkan keningnya. Membuat kadua alisnya beradu. "Maksud Papa?" Gadis itu masih saja bertanya.
"Hah sudah lupakan," ucap Papa. Ia mengalihkan tatapannya pada rambut keriting gantung yang kini menjadi style putri semata wayangnya. "Rambutmu Fa, kapan mau ditutupi jilbab?"
Gadis itu mengangkat sebelah pundaknya. "Jilbab Pa? Yah nanti aja deh. Lagian kalau jadi penyanyi itu kan nggak laku kalau berjilbab," jawab gadis itu sekenanya.
"Jadi penyanyi itu nggak baik Fa." Mama menimpali. Perempuan yang mengenakan hijab ala angel lelga itu kini sudah berada di ruangan. "Sayang Fa kalau suara kamu yang bagus itu untuk menjadi penyanyi. Lebih baik mengaji," ujar perempuan itu.
Aufa terdiam. Gadis itu terpojok. Ia menghela napas. "Ehm, mengaji ya Ma. Oiya Ma, nanti sore aja ya. Aku banyak tugas nih." Gadis itu mencari alasan. Wajahnya ia pasang menjadi sibuk. Aufa pun meninggalkan ruangan itu. "Ya Ma, nanti saja," ucapnya seraya berjalan ke arah kamarnya.
* * *
Aufa menarik selimutnya. Ia memejamkan mata. Namun berkali-kali rasanya bola matanya belum ingin beristirahat. Berbagai cara ia lakukan tetapi tetap saja gadis itu belum bisa tidur.
"Mungkin...." gumamnya. Ia menghela napas. Pikirannya memutar kembali obrolan tadi siang.
"Apa yang salah? Memang nggak boleh ya kalau aku berpenampilan seperti ini. Rambut aku kan bagus, bahkan banyak yang bilang ini rambut barbie. Kenapa juga harus ditutupi. Penyanyi nggak bagus, lebih baik mengaji. Hah Mama dan Papa nggak pernah mengerti." Aufa bergumam seorang diri. Ia mendengus kesal. "Naya, aku mau curhat." Gadis itu memejamkan mata. Menunggu matahari terbit dengan pikiran yang masih menggantung.
* * *
"Fa, kamu kenapa semalam nggak mengaji? Padahal Mama tunggu kamu loh di ruang keluarga." Mama membuka obrolan di sela sarapan.
Bola mata Aufa terlihat membesar. "Oiya Ma, maaf Aufa lupa," ucapnya spontan. Ia terdiam sejenak. "Ehm, semalam sehabis belajar aku ketiduran." Gadis itu mencari alasan.
Mama menatap selidik dalam tatapannya yang hangat. "Yaudah nggak apa kalau kamu ketiduran. Yang penting kamu nggak bohong." Celetuk perempuan itu, seolah ia mengetahui bahwa putrinya tersebut sedang berbohong.
"Uhuk." Mendengar ucapan Mama, seketika gadis itu terbatuk. Ia terdiam sebentar melirik wajah Mama dan Papa yang merasa heran. Dengan gerakan gugup ia mengalihkan perhatian. "Ma, Pa Aufa sudah telat." Ia menghabiskan potongan sandwich yang ada di tangannya. Kemudian meneguk segelas susu dan bergegas meninggalkan meja makan itu.
* * *
Hari ini pikiran Aufa kacau. Ia berjalan malas di taman sekolah. Ia mendengus kesal. "Huh, apaan sih Naya bikin bt aja," gumamnya. Gadis berseragam putih abu itu berkacal pinggang.
"Aufa kalau menurut aku, kamu itu nggak salah kok. Kalau kamu belum siap berjilbab ya nggak usah dipaksain. Terus sekarang Fa, kamu nggak boleh jadi penyanyi yang jelas lebih bisa menghasilkan uang. Ngapain sih ngaji, toh cuma buat akhirat aja. Hallo Fa, kita masih lama loh perjalanannya. Kalau hanya memikirkan akhirat terus kita mau kelaperan gitu." Remaja itu mendengus. Kemudian melanjutkan ucapannya. "Payah nih ortu kamu Fa. Harusnya ortu kamu ngertiin posisi kamu sebagai anak muda. Ortu kamu nggak gaul Fa." Gadis itu terus saja berkomentar dengan pandangannya.
Ya, Naya si gadis SMA yang masih duduk di kelas sepuluh. Ia memang tipe anak yang agak bebas, keras kepala, dan tidak mau kalah. Buktinya saja hari ini Aufa yang semula berniat curhat kepada Naya malah Naya tak memberi kesempatan pada temannya tersebut untuk sekedar menyampaikan uneg-unegnya tanpa dikomentari. Tapi sayang Naya kalau sudah berbicara terus saja seperti tidak ada rem. Naya memang selalu begitu.
Aufa melangkah pelan diatas rerumputan taman sekolah. Ia menarik napas dalam sembari mengitarkan pandangannya. Namun tatapan itu terhenti pada seseorang di sana. Gadis yang tengah duduk di atas rumput dengan teduhan dahan pohon. Gadis berjilbab dengan kaca mata yang selalu ia kenakan dan buku yang sedang ia baca.
Aufa menghampiri remaja itu. Tak tahu angin apa yang menuntunnya duduk mendekati gadis berkaca mata tersebut. Padahal, biasanya ia tidak pernah mau berbicara dengan siswi yang ia rasa cupu itu. Tetapi kali ini ia sadar, bahwa temannya bukan hanya Naya seorang. Ia bisa curhat pada gadis itu juga. Aufa membutuhkan pendapatnya yang bijak.
"Hai Nina, aku boleh duduk di sini," ucap Aufa seraya ikut duduk di sebelah siswi berkaca mata itu.
"Tentu boleh dong," jawab Nina. Ia melempar senyum kepada Aufa kemudian kembali menyibukkan diri dengan membaca.
"Nin," panggil Aufa pelan.
"Iya ada apa Fa?" Tanya siswi itu. Ia memperhatikan wajah Aufa yang murung. "Kamu ada masalah Fa? Kamu bisa cerita kok sama aku." Nina kembali menerbitkan senyum.
Aufa menghela napas. "Jadi gini Nin, menurut kamu kenapa perempuan itu harus berjilbab, dan kenapa ada yang bilang kalau perempuan itu nggak bagus jadi penyanyi?" Tanya Aufa pelan.
"Ya menurutku memang mengenakan hijab, jilbab atau kerudung adalah kewajiban bagi wanita setelah baligh. Karna kalau wajib itu kan harus, kalau nggak mengikuti perintah itu ya berdosa. Rambut kan aurat wanita. Hmm, kalau soal penyanyi, sebetulnya suara wanita itu aurat. Jadi wanita dalam agama nggak boleh bernyanyi khususnya lagu cinta. Mungkin kalau lagu sholawat atau qosidah bisa." Jelas Nina kepada temannya yang duduk di sebelahnya itu.
Cewek berpotongan rambut keriting itu tampak mengerutkan kening. "Terus gimana dengan mengaji?" Tanya Aufa yang masih penasaran.
"Mengaji itu ibadah, jelas mendapat pahala. Dengan mengaji, bacaan itu akan menjadi teman manusia di alam kubur kelak. Sedangkan menyanyi hanya kata-kata sia-sia," jawab Nina bersemangat.
Aufa hanya mengohkan mendengar jawaban siswi berjilbab itu. Ia tersentak. Tiba-tiba ia teringat pada ucapan Mama dan Papa. Benar kata kedua orangtuanya. Ia menatap Nina yang sudah kembali dalam kesibukannya membaca buku. Suasana hening. Aufa memasang earphone berwarna pink di telinganya.
Gadis yang duduk di sebelahnya itu memperhatikan temannya yang asyik mendengarkan mp3 di handphonenya. Ia menyiku temannya pelan. "Serius banget Fa, kamu lagi denger apa sih?"
"Ini lagu lama yang di cover ulang Noah. Judulnya Andaikan kau datang kembali," ucap Aufa dengan senyum yang mulai terlukis di wajahnya.
"Oh."
"Oh?" Aufa mengerutkan kening. "Kamu tahu lagu ini Nin?" Tanya gadis itu.
"Kamu tahu lagu ini tentang apa?" Alih-alih menjawab pertanyaan, gadis itu malah balik bertanya.
"Tentang seseorang yang pacarnya pergi meninggalkan dia," jawab Aufa yang sangat hafal lagu kesukaannya tersebut.
"Kalau menurutku, lagu ini ada pesan religinya. Menceritakan tentang kehidupan dunia yang perlahan pergi meninggalkan dan kembali kepada kehidupan di akhirat," tutur siswi tersebut. Ia menatap Aufa yang tampak berpikir.
"Hah, maksudnya?" Tanya Aufa.
Terlalu indah dilupakan.
Terlalu sedih dikenangkan.
Setelah aku jauh berjalan.
Dan kau kutinggalkan.
(Allah Swt yang sering terlupakan).

Betapa hatiku bersedih.
Mengenang kasih dan sayangmu.
(Allah Swt).
Setulus pesanmu kepadaku.
Engkau kan menunggu.
(Di Padang Mahsyar).

Andaikan kau datang kembali.
Jawaban apa yang kan ku beri.
(Mengutus malaikat di dalam kubur. Saat menanyai iman dan amal saleh di dunia).

Adakah cara yang kau temui.
(Takdir Allah)
Untuk kita
(Makhluk)
Kembali lagi
(Andaikan dapat hidup kembali di dunia menebus kesalahan)

Bersinarlah bulan purnama
Seindah serta tulus cintaNya.
Bersinarlah terus sampai nanti.
(Hidayah dan ampunan Allah).

Lagu ini ku akhiri.
(Menghadap khusnul khotimah).

Aufa merenung mendengar penuturan gadis berkaca mata itu. Ia terhenyak. Pikirannya melayang mengingat semua ceramah yang selalu orangtuanya ucapkan. Selama ini ia menganggap kedua orangtuanya cerewet terlalu banyak berkomentar. Padahal semua dilakukan untuk menuntun putrinya menjadi gadis yang soleha.
"Fa, hidup hanya sekali. Tidak bisa terulang kembali. Jadi, semoga di perjalanan hidup yang singkat ini kita bisa memanfaatkan waktu untuk beribadah kepada Allah." Nina kembali menasehati. Ia menatap wajah temannya yang kini tampak sedih.
Perlahan air mata Aufa menetes dari sudut matanya. Hati Aufa terasa sedih.
* * *
Perempuan berwajah penyayang itu menatap putri semata wayangnya. Di sebelahnya tampak lelaki yang rambutnya hampir habis itu turut menatap wajah gadis yang kini tertutup dengan kerudung sederhana berwarna putih.
"Fa, ada apa? Kamu mau bicara apa?" Tanya Mama membuka obrolan di tengah keheningan tersebut.
Sudah beberapa menit mereka hanya bertatap dalam diam. Katanya putrinya itu ingin bicara pada kedua orangtuanya. Namun anehnya Aufa malah terdiam dengan tatapan menerawang dan mata yang agak sembap. Ia, Aufa gadis itu termenung mengingat kesalahan yang ia lakukan selama ini. Remaja itu terus mengingat percakapan kemarin dengan salah seorang temannya.
Ya, apa salahnya jika Mama dan Papanya menginginkan yang terbaik untuk Aufa. Putri semata wayangnya. Dan inilah alasan Papa menyuruhnya mengenakan hijab? Agar ia tidak berdosa mengumbar aurat. Dan inilah alasan Mama memaksanya mengaji? Agar ia mendapat cahaya dan teman di alam akhirat nanti. Kenapa selama ini ia menuruti egonya tanpa mau memperdulikan perkataan terbaik itu.
"Ma, Pa maafkan Aufa ya."
"Iya sayang," jawab Mama seraya mengelus pipi gadis itu.
"Maaf jika selama ini, aku nggak ikutin perintah Mama Papa." Aufa menghela napas. "Ma, aku mau berubah," ucap gadis yang kini sudah mengenakan kerudung.
"Fa, anggap yang kemarin sebagai pelajaran."
Aufa memandang wajah perempuan pahlawan hidupnya itu. "Ma, Aufa mau mengaji Ma," pintanya sambil menatap bola mata Mama.
Mama terlihat mengangguk. "Fa, Mama bangga punya anak seperti kamu Nak. Mama akan mengajarkan mengaji setiap ba'da isya dan juga Aufa bisa ikut pengajian remaja yang rutin di adakan di masjid dekat rumah."
Aufa mengembangkan senyum manisnya. "Makasih Ma. Kapan aku bisa ikut pengajian remaja masjid Ma?" Aufa bertanya penuh semangat.
"Besok sayang," ucap perempuan itu disertai senyuman lega sudah berhasil menuntun anaknya ke jalan yang lebih baik.
"Alhamdulillah," Aufa merasa bahagia. Sungguh bahagia.
Terimakasih Ma, Pa sudah menuntun setiap anaknya menjadi anak yang soleh dan soleha. Sungguh perhatian yang tidak bisa terbayar.
Pagi itu, ruangan tempat mereka berkumpul terasa sangat hangat. Aufa memeluk kedua orangtuanya tersebut.

Author : Ine Dwi S
Cerpen sederhana