Sabtu, 21 Januari 2017



Pangeran dari mimpi

            “Aura bangunnn.” Begitulah teriakan mama setiap pagi. Terdengar ke seantero kamar tidur gadis itu.
            Gadis itu terhenyak. Ia langsung bangun dari posisi tidurnya. “Hah, ada apa Ma? Ada cowok tampan itu ya. Di mana Ma,” ucapnya sambil mengitarkan pandangannya ke seisi ruangan.
            Mama membuka mulutnya. Bersiap-siap memberikan ceramah pagi. “Kamu ini, bangun. Kok malah cariin cowok. Ayo, cepat bangun. Sudah jam berapa sekarang. Kamu selalu aja telat.” Lagi-lagi perempuan itu terpaksa mengomel.
            Dengan tingkah polosnya, remaja itu malah mengambil jam weker berbentuk gitar yang ada di meja kecil sebelah tempat tidurnya. Ia mengerjapkan mata. “Wah sudah jam enam ya. Aku telat lagi dong.” Ia mendesah. Merasa bersalah. “Tapi Ma, beneran deh. Semalam aku sudah atur alarm jam lima pagi kok. Pasti ini karena aku mimpi cowok itu.” Gadis itu bercerita panjang lebar.
            Mama menggelengkan kepala. Ia lelah berhadapan dengan kelakuan anak gadisnya itu. “Kamu, sukanya ngeles terus seperti bajaj. Mimpi kok jadi alasan,” jawabnya kesal.
            “Tapi Ma, beneran deh,” balas Aura masih bersikeras bahwa ia tidak bohong. Ia menatap mata mama.
            Mama berkacak pinggang. “Auraaaa.”
            “I…iya Ma.” Gadis itu tersentak. Ia bangkit dari kasurnya, lalu melangkah secepat kilat menuju kamar mandi.

v   

            Matahari mengumpat malu. Bersembunyi di balik awan yang bergelantungan di langit pagi. Udara dingin mulai berhembus pelan. Perlahan rintik gerimis membasahi bumi.
            Aura mempercepat langkahnya. Seragam yang ia kenakan terasa dingin karena gerimis kecil tersebut. Sudah lama gadis itu berjalan, namun entah kenapa ia belum juga sampai. Padahal jarak rumah dan sekolah cukup dekat.
            Gadis itu berjalan pelan. “Seandaikan ini adalah drama Korea. Mungkin disaat gerimis seperti ini, akan ada seorang cowok tampan yang datang menghampiriku dengan payung. Oh, oppa,” gumamnya dengan wajah mengadah menatap langit.
            Tiba-tiba suara motor terdengar dari belakang gadis itu. Sebuah motor besar lewat di sampingnya. Tanpa sengaja mencipratkan genangan air di jalan itu.
            “Hei, hati-hati,” bentak Aura. Ia terus memerhatikan pengendara yang juga masuk ke sekolahnya. Memang ia tidak dapat melihat betul wajah cowok itu, ia hanya melihat gayanya yang sok cool dengan earphone merah di telinganya. Yang pasti adalah sekarang seragam putihnya kotor.
            Aura mendengus kesal. Ia bergegas masuk ke dalam kelasnya. Seperti biasa, di sana sudah ada sahabatnya yang sudah menunggu kedatangannya.
            “Hei, pagi Ra,” sapa cewek berambut ikal itu.
            “Pagi Mi,” balas Aura. Ia menaruh tasnya di bangku. Wajahnya masih masam.
            “Kamu kenapa kesal gitu?” tanya sahabatnya.
            “Ada sesuatu yang buat aku bt banget. Kamu sendiri kenapa tersenyum gitu?” Aura menaikkan sebelah alisnya.
            “Di SMA kita nanti akan kedatangan murid baru yang tampan. Dengar-dengar sih mirip aktor Korea,” ucap gadis itu, bersemangat.
            “Apa? Korea, oppa. Ya ampun semalam aku mimpi bertemu pangeran. Aku sih nggak ingat wajahnya seperti apa, yang pasti style dan bentuk tubuhnya mirip sama Lee Min Hoo.” Aura bercerita dengan mata berbinar.
            Are you serious? Wah pangeran dari mimpi dong,” ceplos cewek itu.
            “Tapi sayang gara-gara dia, aku jadi telat bangun. Mama marah lagi karena aku telat. Tadi juga di jalan gerimis, bukannya seperti drama Korea, malah aku terkena cipratan air kotor sama motor cowok.” Aura menggerutu kesal. “Sudah masuk, nanti kita sambung lagi Naomi.”

v   

            Bel sekolah berbunyi. Pertanda waktu pulang. Satu persatu siswa keluar dari kelas. Seperti biasa, Naomi dan Aura berpisah di depan kelas.
            “Sampai jumpa besok,” ucap Naomi, lalu berjalan dengan semangat.
            Gadis berambut lurus itu kemudian berbalik. Untuk ke sekian kalinya ia pulang sendiri. Begitu memang nasib jomblo. Baru saja beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba ada seseorang yang menyenggolnya.
            Bug.
            “Aduh,” ucap Aura pelan. Gadis itu dan bukunya terjatuh.
            Sorry, kamu nggak kenapa-kenapa kan?” tanya cowok yang berdiri di hadapan gadis itu. Ia mengulurkan tangan.
            Perlahan Aura mengangkat wajahnya. Matanya terpaku menatap cowok di hadapannya saat ini. “Oh ya, aku nggak apa kok.” Aura bergegas berdiri. Rasanya ia mengenal cowok itu. Seperti pernah bertemu. Cowok itu seperti…. “Lee Min Hoo,” ucapnya dalam hati.
            “Maaf ya soal barusan,” ucap cowok tampan itu.
            “Iya. Hmm, kamu anak baru ya? Aku nggak pernah melihat kamu sebelumnya,” tanya gadis itu.
            “Aku anak baru di SMA ini. Aku di kelas 2 IPS. Namaku Rafa, nama kamu?” tanya cowok dengan gaya ala Korea. Ia tersenyum kepada cewek itu.
            Melihat senyum itu, membuat Aura ikut tersenyum. Ada perasaan aneh di hatinya. “Aku Aura.”
            “Oke kalau begitu, sebagai tanda maaf, kamu aku antar pulang ya,” ajak Rafa.
            Bukannya menolak, entah kenapa ia malah mengangguk, pertanda setuju.
            Kedua remaja itu berjalan menuju tempat parkir motor. Cowok berwajah Korea tersebut menaiki motor besar miliknya.
            Aura terdiam. Ia menggelengkan kepala. “Jadi kamu yang tadi pagi cipratin air kotor ke aku.”
            Rafa mengerutkan kening. “Ah sebentar, ya aku ingat tadi pagi aku memang melewati genangan air. Oh jadi itu terkena kamu. Wah, aku minta maaf ya.” Cowok dengan jaket bulu ala Korea itu merasa bersalah.
            Cewek berambut lurus itu mendesah. “Hmm, baiklah,” jawabnya. Ia mengalah.
            “Ayo Aura, cepat naik,” perintah Rafa.
            Langit mulai terlihat gelap. Gerimis kecil berjatuhan dan angin yang terasa menusuk tulang berhembus. Sepertinya hujan lebat akan terjadi.
            Tidak ada pilihan lain, ia akhirnya ikut naik motor Rafa.
            Cowok itu pun melajukan mogenya. Hati Rafa berdebar lebih kencang. “Rasanya ia seperti…. Putri mimpiku.” Rafa berucap dalam hati.
            Angin di luar bukan hanya menyejukkan kulit, tapi juga menyejukkan hati. Berada dekat dengan cowok itu sangat nyaman. Bukan hanya pertemuan tadi pagi saja, rasanya ia seperti… pangeran mimpiku. Mungkinkah?

v   

            Tempat yang indah sekali. Rerumputan hijau tumbuh di permukaan tanah. Bunga-bunga bermekaran di sekeliling. Terlihat penuh warna dan memanjakan mata. Di salah satu sisi terdapat jalan setapak yang langsung mengarah kepada sepasang ayunan berwarna putih di sana. Sungguh, benar-benar taman yang cantik.
            Aura, gadis itu mendekat. Ia masih terpaku menatap keindahan seperti negeri dongeng. Ia juga mengenakan gaun berwarna putih dan sepatu kaca. Lalu tiba-tiba ada seseorang yang menarik lengannya. Mengajaknya berlari kecil di sekitar taman. Dengan cerianya ia pun ikut berlari di sisi cowok tersebut. Cowok dengan jas putih yang ia kenakan. Memiliki postur tubuh seperti Lee Min Hoo. Ya, dialah pangeran dari mimpi.
            Gadis berambut lurus itu selalu tersenyum jika mengingat tentang mimpi itu beberapa malam ini. Akankah pangeran itu muncul dalam dunia nyata? Mungkinkah ia adalah… Rafa, murid baru itu? Ah, rasanya bukan. Aura menggeleng, melupakan khayalannya sejenak.
            Aura melangkah penuh semangat. Ia tidak sabar ingin secepatnya menceritakan semua tentang mimpinya, juga tentang Rafa pada Naomi, sahabatnya. Ia terus berjalan, melewati lorong kelas, lalu berbelok menuju ruang kelasnya. Namun tiba-tiba gadis itu mematung, langkah kakinya terhenti.
            “Naomi, Rafa,” ucapnya pelan.
            Naomi dan Rafa, kedua remaja itu sedang berbincang di luar kelas. Dengan santai mereka bercerita. Sesekali Naomi tertawa lepas di hadapan cowok itu. Wajah Naomi terlihat sangat bahagia saat itu. Melihat interaksi antara Naomi dan Rafa, rasanya mungkin mereka sudah mengenal sejak lama.
            Melihat mereka dengan wajah bahagia, membuat Aura terpukul. Entah kenapa, hatinya terasa sakit. Kebahagiaan Aura untuk menceritakan semua tentang Rafa lenyap. “Jangan-jangan Naomi…” gumamnya
            Gadis berambut ikal itu menengok. Menatap Aura bingung. Sahabatnya hanya berdiri tanpa menyapa. “Hai, Aura,” panggil Naomi.
            Aura terkejut. Ia melangkah mundur. Berbalik badan, lalu pergi menjauh dari mereka.
            “Lho, Aura kenapa ya?” ucap Naomi dengan wajah bingung. Tak mengerti dengan sikap temannya.

v   

            Suara bel sudah terdengar. Semua murid beristirahat. Ada yang ke kantin mengisi perut yang terasa lapar, ada juga yang duduk di taman sambil berbincang bersama teman.
            Aura bergegas keluar kelas. Ia berjalan seorang diri, berlalu begitu saja meninggalkan sahabatnya, Naomi.
            Naomi mengikuti temannya itu pergi. Ia pun ikut berhenti ketika Aura berhenti. Aura mendudukkan tubuhnya di bangku taman.
            Gadis berambut ikal itu mendudukkan tubuhnya tepat di samping Aura. “Ra, kamu kenapa sih? Dari awal masuk kamu menjauh terus dari aku.”
            Aura tidak menjawab. Ia terus diam seribu bahasa. Wajahnya masih cemberut.
            “Oiya aku mau mengenalkan kamu kepada cowok. Namanya Rafa,” ucap Naomi.
            Mendengar nama Rafa, Aura menoleh. “Aku sudah tahu. Kamu suka kan sama Rafa.” Nada suara Aura terdengar kesal.
            Naomi menaikkan sebelah alisnya. “Kamu kenapa Ra?” tanyanya bingung. Ia memutar matanya. “Hmm sebentar-sebentar, kamu sudah kenal Rafa ya? Kamu cemburu ya?” tebak Naomi.
            “Cemburu? Nggak mungkin,” jawabnya, menutupi perasaannya.
            “Sudah nggak usah malu begitu. Kamu suka kan sama Rafa,” ledek Naomi. “Kamu tenang aja, Rafa itu sepupu aku. Aku juga kaget tadi pagi ternyata dia ada di sekolah dan ternyata Rafa adalah murid baru itu,” jelasnya.
            “Benarkah?” tanya Aura lagi. Senyumnya mengembang.
            Naomi tersenyum. “Iya serius. Aku juga sudah cerita kepada Rafa soal mimpimu tentang pangeran Korea itu. Mungkin pangeran itu adalah Rafa.”
            “Naomiii,” teriak Aura. Ia mencemberutkan bibirnya.
            “Iya, Naomi sudah cerita semuanya. Jadi benarkah kamu bermimpi tentang cowok ala Korea dan dia mirip aku?” Tiba-tiba Rafa sudah berdiri di samping Aura.
            Aura masih diam. Wajahnya menunduk. Ia merasa malu pada cowok yang kini berdiri di dekatnya.
            Rafa menarik napas. Ia menerbitkan senyum. “Nggak apa kok Aura. Kalau begitu berarti selama ini kamu adalah putri mimpiku,” ucap cowok itu.
            Aura menatap mata Rafa. “Hah, maksudnya?” Ia tampak tidak mengerti.
            Rafa tertawa kecil. “Jadi selama ini aku juga bermimpi bertemu seorang putri yang mirip dengan kamu. Kalau begitu, kamu adalah putri mimpiku,” jelas Rafa.
            Jantung Aura semakin berdetak kencang. Mungkin ini yang dinamakan jatuh cinta. “Benarkah oppa?” tanya Aura. Ia masih tidak percaya dengan semua ini. Bagaikan mimpi.
            “Iya Aura, kamu putri mimpiku, dan aku adalah pangeran mimpimu,” jawab Rafa. Iamenatap mata gadis cantik itu.
            “Ehem, udah moment nembaknya nanti aja. Aku lapar nih,” ucap Naomi. Membuyarkan moment mereka.
            “Iya Naomiii,” jawab Rafa dan Aura bersamaan.
            Mereka bertiga akhirnya berbalik, dan melangkah meninggalkan taman sekolah.


The Winner
Oleh: Ine Dwi Syamsudin

            Jam hampir menunjukkan angka dua belas. Lalu suara bel terdengar kencang. Menandakan waktu istirahat kedua tiba. Teman di kelas satu persatu keluar dari kelas, juga gadis berambut pendek itu. Tetapi suara perempuan memanggilnya dari belakang.
            “Hanin,” panggil perempuan yang mengenakan seragam cokelat muda.
            Gadis itu menengok. “Ya Bu, ada apa ya?” tanyanya lembut.
            “Kamu dipanggil Kepala Sekolah. Ditunggu di ruangannya sekarang,” ucap perempuan tersebut. Kemudian ia berlalu menuju ruang guru.
            Gadis itu memutar matanya ke atas. Berpikir sejenak. “Ada apa ya?” tanyanya pada diri sendiri. Kemudian ia berjalan menuju kantor Kepala Sekolah.
            Kantor itu, dengan pintu yang berwarna abu-abu tersebut tampak terbuka. Dari kejauhan, ia dapat melihat seseorang tengah duduk di bangku menghadap Kepala Sekolah. Rambutnya yang ikal menggantung itu seperti tidak asing bagi gadis itu. Entah kenapa ia merasa gelisah. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju ruangan itu. Kini ia sudah berdiri di ambang pintu.
            “Permisi,” ucapnya sambil melangkah masuk ke dalam.
            “Silakan duduk Hanin.” Bapak Kepala Sekolah mempersilakan.
            Hanin, gadis itu duduk di bangku tersebut. Tentu saja ia tidak sendiri. Tetapi bersama dengan seorang remaja yang sangat ia kenal. Sekarang ia malah menatapnya dengan sorot mata tajamnya dan senyum sinis. Membuat gadis bernama Hanin itu merasa tegang.
            “Maaf ya Bapak membuat kalian bingung, kenapa kalian dipanggil ke ruangan ini.” Bapak Kepala Sekolah memulai percakapan dalam suasana hening. Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Bapak sengaja memanggil kalian, karena Bapak ingin mengirimkan kalian dalam olimpiade biologi tingkat SMA se-provinsi satu bulan lagi. Bapak mengirimkan dua siswi terbaik dari sekolah ini. Jadi, Bapak harap Lisa dan Hanin selama satu bulan ini bisa lebih giat berlatih, juga semoga Lisa dan Hanin tetap bersatu.” Harap Bapak Kepala Sekolah.
            Lisa dan Hanin hanya terdiam. Mereka sibuk dalam pikiran masing-masing. Walaupun Lisa tersenyum, tetapi sebetulnya ia tidak ingin jika satu olimpiade dengan gadis yang duduk di sebelahnya itu. Sedangkan Hanin bukan tidak ingin, tapi ia takut. Ia takut jika ia merasa down karena perlakuan Lisa kepadanya.
            Akhirnya kedua siswi itu mengangguk, kemudian mereka permisi meninggalkan ruangan tersebut.
            “Lisa, tunggu,” panggil Hanin dengan suara pelan.
            Gadis berambut ikal itu menatapnya sinis. “Lo tunggu aja, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah,” jawabnya ketus. Ia berlalu meninggalkan gadis polos itu.
v   
            “Kenapa sih Lisa seperti itu,” gerutu cewek dengan rambut pendek itu. Sedari tadi ia hanya mengaduk es jeruk dengan sedotan tanpa meminumnya.
            Teman curhatnya itu menatapnya serius. “Mungkin, memang sifatnya dia jutek,” ucap cowok itu.
            Ruang kantin makin ramai. Satu persatu siswa mulai memadati kantin. Mencari jajanan, mengisi perut mereka yang mulai bernyanyi musik kerocong.
            Tiba-tiba Hanin menyiku lengan temannya. “Eh, Dio lihat deh. Lisa datang tuh,” ucapnya berbisik. Matanya mengikuti langkah cewek jutek itu yang perlahan masuk kantin.
            Gadis jutek itu menengok dan mendapati kedua murid itu melihatnya dari kejauhan. Lisa pun segera membalas tatapan kepada mereka. Tatapan sinis. Ya, lagi-lagi Lisa menatap Hanin seperti itu.
            Lisa, Lisa dan Lisa. Ada apa dengan gadis itu, Hanin tidak tahu. Sebetulnya Hanin dan Lisa sudah satu sekolah sejak duduk di bangku SD. Tetapi entah kenapa sikapnya selalu jutek kepada Hanin. Sejak SD prestasi mereka di kelas memang bagus, terbukti Lisa dan Hanin sering berada diperingkat pertama dan kedua. Terkadang, Lisa yang menempati ranking satu dan Hanin yang mendapat ranking dua. Tetapi, kadang sebaliknya, Hanin yang mendapat peringkat satu di kelas, sementara Lisa mendapat peringkat dua. Sedangkan juara ketiga biasanya di tempati Dio, walaupun tidak sering. Begitupun juga saat SMP. Untung saja saat SMA, mereka tidak satu kelas lagi.
            “Nanti aku coba bicara sama Lisa,” janji Dio kepada temannya, Hanin.
v   
                Siang ini rasanya tepat sekali. Kelas Dio pulang lebih cepat lima menit sebelum bel berbunyi. Begitu guru keluar dari kelas, cowok jangkung itu langsung melangkah cepat menuju kelas IPA yang tidak jauh dari kelasnya. Hanya dipisahkan oleh tiga ruangan kelas lain. Dan untung saja, kelas IPA tersebut masih belum pulang dan Dio hanya menunggu beberapa menit lagi untuk menunggu bel dibunyikan.
            Kringggggg. Bel sekolah. Pertanda seluruh kelas siap pulang dan juga tentunya kelas IPA ini.
            Murid kelas IPA satu keluar dari kelasnya. Dio terus menyisir setiap siswi yang lewat. Mencari gadis itu, dan dalam waktu singkat, ia sudah mendapatinya.
            “Lisa,” panggil cowok itu.
            Gadis itu terdiam. Ia bergegas pergi namun tiba-tiba langkahnya tertahan. Ada sesuatu yang berat di tangannya. “Ishh apaan sih,” gumamnya.
            “Aku mau bicara empat mata sama kamu. Sekarang di taman sekolah,” ucapnya sambil menarik lengan gadis jutek itu.
            Mau tidak mau Lisa hanya bisa mengikuti langkah kaki cowok itu.
            Dio mendudukkan tubuhnya di bangku taman berwarna putih itu. Di sampingnya ada Lisa, gadis jutek temannya dari SD sampai sekarang. Keduanya menatap rerumputan yang bergoyang ke kanan terkena terpaan angin yang berhembus.
            “Cepet, lo mau ngomong apa? Gue nggak punya banyak waktu.” Suara Lisa yang tinggi membuat cowok itu tersadar dari lamunannya.
            Dio menghela napas. “Kenapa sih kamu selalu jutek sama Hanin?” tanyanya pelan.
            Lisa mendengus kesal. “Lo buang waktu berharga gue tahu nggak, kalau cuma mau ngobrol tentang hal sepele itu,” jawabnya dengan wajah kesal.
            “Bukan hal sepele Lis, ini hal serius,” sanggah Dio.
            Gadis itu menggeleng. “Lo bener-bener buang waktu gue aja tahu nggak!” ucapnya masih dengan suara meninggi. Gadis itu bangkit dari kursi, dan hendak pergi.
            “Tunggu…”
            “Yaudah cepet, lo mau ngomong apa.” Lisa menunda langkahnya sejenak.
            “Aku bingung sama sikap kamu Lis, kamu dan Hanin kan sudah satu kelas sejak SD, kenapa kamu anggap kalau Hanin adalah musuh kamu? Padahal kalian sudah kenal sejak lama. Lagian menurut kamu, apa alasan kamu selalu menatap Hanin sinis seperti itu?” cowok jangkung itu mengeluarkan semua uneg-uneg tersebut.
            Lisa menatap cowok di sebelahnya tersebut. Ia menyipitkan matanya. “Masalahnya adalah gue benci sama Hanin. Kenapa? Karena Hanin selalu menjadi pesaing gue sejak SD. Gue bosen kenapa selalu dia yang terus mendapat peringkat pertama,” jawab gadis berambut ikal tersebut.
            Dio menatapnya heran. “Lho, bukannya itu adalah wajar. Kalau kamu nggak dapat yang pertama, otomatis akan ada orang lain yang mendapat posisi itu. Kamu nggak bisa terus menerus selalu ada di atas Lis. Semua orang itu dalam hidupnya pasti selalu fluktuasi, bisa naik dan bisa turun,” jawab Dio dengan argumennya.
            “Nggak, yang ada itu adalah menang atau kalah,” sanggah Lisa. Ia menaikkan sebelah alisnya. “Kita lihat aja, siapa yang menang dan siapa yang akan kalah.”
            “Kamu salah Lisa. Kamu salah jika menganut sistem berpikir tersebut. Cara yang terbaik adalah dengan berpikir menang atau menang. Dan dengan begitu, kamu nggak akan lagi bertindak sinis pada Hanin atau siapa pun yang berada di atas kamu. Karena kamu akan bisa menganggap bahwa kamu adalah pemenang, dan lawanmu adalah pemenang,” cowok itu menasehati. Berharap agar temannya itu dapat mengerti.
            “Nggak penting,” jawabnya ketus, gadis itu kemudian berlalu meninggalkannya sendiri.
            “Ingat Lis. Buat cara berpikir menang atau menang,” teriak Dio dari kejauhan, sekali lagi.
            Sedangkan Lisa terus saja berjalan. Dengan langkah cepat ia menjauh dari salah satu temannya itu, Dio. Entah kenapa kalimat itu terngiang-ngiang di telinganya. Menang atau menang. Menang atau menang. Menang atau menang. Seolah otak Lisa saat ini sedang menghapal sebuah rumus. Ataukah mungkin jika ia merubah paradigmanya tentang menang atau kalah, maka ia dapat menemukan jawaban atas kekeliruannya selama ini. Mungkin itu salah satu cara agar ia tidak dijauhi oleh teman-temannya lagi. Ya, benar. Itu adalah dengan paradigma sistem menang atau menang.
v   
Satu bulan kemudian…
            Gadis berambut pendek itu masih merasa gelisah. Ia duduk dalam keadaan cemas. Namun sebisa mungkin ia menutupi rasa tegangnya. Matanya terus menyisir seseorang yang sudah dari tadi ia cari. Dan begitu ia menengok ke sempingnya, cowok itu sudah duduk di bangku sebelahnya.
            “Dio. Kok kamu udah ada di sini. Perasaan dari tadi aku cari kamu nggak kelihatan deh.” Hanin tertawa kecil. Wajahnya sekarang malah terlihat tidak begitu cemas.
            Dio menghela napas. “Kebiasaan kamu yang gelisah itu harus cepet diberantas. Bahaya loh. Masa diomelin sedikit udah down. Dijutekin sedikit down. Kamu harus bisa lebih strong,” ucap Dio kepada teman baiknya tersebut.
            Hanin tersenyum samar. “Ya deh, nanti aku atasi itu. Tapi ngomong-ngomong soal jutek, Lisa gimana ya? Dia di mana sekarang.” Hanin menyisir setiap orang yang melewati pintu masuk. Beberapa menit kemudian gadis itu pun datang.
            “Tenang,” bisik cowok itu, pelan.
            Seluruh peserta sudah hadir di tempat olimpiade. Peserta dari berbagai sekolah SMA di provinsi Banten. Berbagai sambutan pun juga sudah dibacakan, dan saat ini adalah waktu para peserta untuk bertarung memperebutkan piala olimpiade biologi.
            Hanin dan Lisa bangkit dari kursi tempat ia duduk. Kemudian mereka berjalan menuju ruangan yang telah disediakan. Namun tiba-tiba Lisa menepuk pundaknya. “Hanin, apapun hasilnya yang penting adalah menang atau menang ya.”
            “Maksudnya?” tanya Hanin yang menatap Lisa dengan tatapan heran.
            “Untuk apa aku memandang kamu sebagai musuh. Lagian juga disetiap lomba pasti ada kalah dan menang dong, dan itu hal wajar. Tapi akan lebih baik lagi jika kita mengikuti sistem menang atau menang. Karena dengan begitu, gue akan bisa menganggap gue adalah pemenang dan kamu adalah pemenang. Jadi kita sama-sama pemenang,” ucap Lisa penuh gembira di wajahnya yang cantik. Sama sekali tidak ada lagi tampang jutek yang menghiasi mukanya saat bertemu dengan Hanin.
            Gadis berambut pendek itu masih tidak mengerti. Bagaimana bisa Lisa berubah menjadi baik seperti ini? Mungkinkah ini adalah mimpi?
            “Kamu kok…”
            “Ya, makasih juga untuk Dio yang udah membantu gue untuk merubah paradigma gue selama ini. Dari menang atau kalah menjadi menang atau menang,” jawabnya antusias.
            “Aaaa jadi ini karena Dio. Setelah ini aku wajib terima kasih padanya,” gumam Hanin sambil berjalan menuju ruang olimpiade. “Jadi kita teman ya.”
            “Ya, teman,” jawab Lisa, lembut.