Sabtu, 21 Januari 2017



The Winner
Oleh: Ine Dwi Syamsudin

            Jam hampir menunjukkan angka dua belas. Lalu suara bel terdengar kencang. Menandakan waktu istirahat kedua tiba. Teman di kelas satu persatu keluar dari kelas, juga gadis berambut pendek itu. Tetapi suara perempuan memanggilnya dari belakang.
            “Hanin,” panggil perempuan yang mengenakan seragam cokelat muda.
            Gadis itu menengok. “Ya Bu, ada apa ya?” tanyanya lembut.
            “Kamu dipanggil Kepala Sekolah. Ditunggu di ruangannya sekarang,” ucap perempuan tersebut. Kemudian ia berlalu menuju ruang guru.
            Gadis itu memutar matanya ke atas. Berpikir sejenak. “Ada apa ya?” tanyanya pada diri sendiri. Kemudian ia berjalan menuju kantor Kepala Sekolah.
            Kantor itu, dengan pintu yang berwarna abu-abu tersebut tampak terbuka. Dari kejauhan, ia dapat melihat seseorang tengah duduk di bangku menghadap Kepala Sekolah. Rambutnya yang ikal menggantung itu seperti tidak asing bagi gadis itu. Entah kenapa ia merasa gelisah. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju ruangan itu. Kini ia sudah berdiri di ambang pintu.
            “Permisi,” ucapnya sambil melangkah masuk ke dalam.
            “Silakan duduk Hanin.” Bapak Kepala Sekolah mempersilakan.
            Hanin, gadis itu duduk di bangku tersebut. Tentu saja ia tidak sendiri. Tetapi bersama dengan seorang remaja yang sangat ia kenal. Sekarang ia malah menatapnya dengan sorot mata tajamnya dan senyum sinis. Membuat gadis bernama Hanin itu merasa tegang.
            “Maaf ya Bapak membuat kalian bingung, kenapa kalian dipanggil ke ruangan ini.” Bapak Kepala Sekolah memulai percakapan dalam suasana hening. Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Bapak sengaja memanggil kalian, karena Bapak ingin mengirimkan kalian dalam olimpiade biologi tingkat SMA se-provinsi satu bulan lagi. Bapak mengirimkan dua siswi terbaik dari sekolah ini. Jadi, Bapak harap Lisa dan Hanin selama satu bulan ini bisa lebih giat berlatih, juga semoga Lisa dan Hanin tetap bersatu.” Harap Bapak Kepala Sekolah.
            Lisa dan Hanin hanya terdiam. Mereka sibuk dalam pikiran masing-masing. Walaupun Lisa tersenyum, tetapi sebetulnya ia tidak ingin jika satu olimpiade dengan gadis yang duduk di sebelahnya itu. Sedangkan Hanin bukan tidak ingin, tapi ia takut. Ia takut jika ia merasa down karena perlakuan Lisa kepadanya.
            Akhirnya kedua siswi itu mengangguk, kemudian mereka permisi meninggalkan ruangan tersebut.
            “Lisa, tunggu,” panggil Hanin dengan suara pelan.
            Gadis berambut ikal itu menatapnya sinis. “Lo tunggu aja, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah,” jawabnya ketus. Ia berlalu meninggalkan gadis polos itu.
v   
            “Kenapa sih Lisa seperti itu,” gerutu cewek dengan rambut pendek itu. Sedari tadi ia hanya mengaduk es jeruk dengan sedotan tanpa meminumnya.
            Teman curhatnya itu menatapnya serius. “Mungkin, memang sifatnya dia jutek,” ucap cowok itu.
            Ruang kantin makin ramai. Satu persatu siswa mulai memadati kantin. Mencari jajanan, mengisi perut mereka yang mulai bernyanyi musik kerocong.
            Tiba-tiba Hanin menyiku lengan temannya. “Eh, Dio lihat deh. Lisa datang tuh,” ucapnya berbisik. Matanya mengikuti langkah cewek jutek itu yang perlahan masuk kantin.
            Gadis jutek itu menengok dan mendapati kedua murid itu melihatnya dari kejauhan. Lisa pun segera membalas tatapan kepada mereka. Tatapan sinis. Ya, lagi-lagi Lisa menatap Hanin seperti itu.
            Lisa, Lisa dan Lisa. Ada apa dengan gadis itu, Hanin tidak tahu. Sebetulnya Hanin dan Lisa sudah satu sekolah sejak duduk di bangku SD. Tetapi entah kenapa sikapnya selalu jutek kepada Hanin. Sejak SD prestasi mereka di kelas memang bagus, terbukti Lisa dan Hanin sering berada diperingkat pertama dan kedua. Terkadang, Lisa yang menempati ranking satu dan Hanin yang mendapat ranking dua. Tetapi, kadang sebaliknya, Hanin yang mendapat peringkat satu di kelas, sementara Lisa mendapat peringkat dua. Sedangkan juara ketiga biasanya di tempati Dio, walaupun tidak sering. Begitupun juga saat SMP. Untung saja saat SMA, mereka tidak satu kelas lagi.
            “Nanti aku coba bicara sama Lisa,” janji Dio kepada temannya, Hanin.
v   
                Siang ini rasanya tepat sekali. Kelas Dio pulang lebih cepat lima menit sebelum bel berbunyi. Begitu guru keluar dari kelas, cowok jangkung itu langsung melangkah cepat menuju kelas IPA yang tidak jauh dari kelasnya. Hanya dipisahkan oleh tiga ruangan kelas lain. Dan untung saja, kelas IPA tersebut masih belum pulang dan Dio hanya menunggu beberapa menit lagi untuk menunggu bel dibunyikan.
            Kringggggg. Bel sekolah. Pertanda seluruh kelas siap pulang dan juga tentunya kelas IPA ini.
            Murid kelas IPA satu keluar dari kelasnya. Dio terus menyisir setiap siswi yang lewat. Mencari gadis itu, dan dalam waktu singkat, ia sudah mendapatinya.
            “Lisa,” panggil cowok itu.
            Gadis itu terdiam. Ia bergegas pergi namun tiba-tiba langkahnya tertahan. Ada sesuatu yang berat di tangannya. “Ishh apaan sih,” gumamnya.
            “Aku mau bicara empat mata sama kamu. Sekarang di taman sekolah,” ucapnya sambil menarik lengan gadis jutek itu.
            Mau tidak mau Lisa hanya bisa mengikuti langkah kaki cowok itu.
            Dio mendudukkan tubuhnya di bangku taman berwarna putih itu. Di sampingnya ada Lisa, gadis jutek temannya dari SD sampai sekarang. Keduanya menatap rerumputan yang bergoyang ke kanan terkena terpaan angin yang berhembus.
            “Cepet, lo mau ngomong apa? Gue nggak punya banyak waktu.” Suara Lisa yang tinggi membuat cowok itu tersadar dari lamunannya.
            Dio menghela napas. “Kenapa sih kamu selalu jutek sama Hanin?” tanyanya pelan.
            Lisa mendengus kesal. “Lo buang waktu berharga gue tahu nggak, kalau cuma mau ngobrol tentang hal sepele itu,” jawabnya dengan wajah kesal.
            “Bukan hal sepele Lis, ini hal serius,” sanggah Dio.
            Gadis itu menggeleng. “Lo bener-bener buang waktu gue aja tahu nggak!” ucapnya masih dengan suara meninggi. Gadis itu bangkit dari kursi, dan hendak pergi.
            “Tunggu…”
            “Yaudah cepet, lo mau ngomong apa.” Lisa menunda langkahnya sejenak.
            “Aku bingung sama sikap kamu Lis, kamu dan Hanin kan sudah satu kelas sejak SD, kenapa kamu anggap kalau Hanin adalah musuh kamu? Padahal kalian sudah kenal sejak lama. Lagian menurut kamu, apa alasan kamu selalu menatap Hanin sinis seperti itu?” cowok jangkung itu mengeluarkan semua uneg-uneg tersebut.
            Lisa menatap cowok di sebelahnya tersebut. Ia menyipitkan matanya. “Masalahnya adalah gue benci sama Hanin. Kenapa? Karena Hanin selalu menjadi pesaing gue sejak SD. Gue bosen kenapa selalu dia yang terus mendapat peringkat pertama,” jawab gadis berambut ikal tersebut.
            Dio menatapnya heran. “Lho, bukannya itu adalah wajar. Kalau kamu nggak dapat yang pertama, otomatis akan ada orang lain yang mendapat posisi itu. Kamu nggak bisa terus menerus selalu ada di atas Lis. Semua orang itu dalam hidupnya pasti selalu fluktuasi, bisa naik dan bisa turun,” jawab Dio dengan argumennya.
            “Nggak, yang ada itu adalah menang atau kalah,” sanggah Lisa. Ia menaikkan sebelah alisnya. “Kita lihat aja, siapa yang menang dan siapa yang akan kalah.”
            “Kamu salah Lisa. Kamu salah jika menganut sistem berpikir tersebut. Cara yang terbaik adalah dengan berpikir menang atau menang. Dan dengan begitu, kamu nggak akan lagi bertindak sinis pada Hanin atau siapa pun yang berada di atas kamu. Karena kamu akan bisa menganggap bahwa kamu adalah pemenang, dan lawanmu adalah pemenang,” cowok itu menasehati. Berharap agar temannya itu dapat mengerti.
            “Nggak penting,” jawabnya ketus, gadis itu kemudian berlalu meninggalkannya sendiri.
            “Ingat Lis. Buat cara berpikir menang atau menang,” teriak Dio dari kejauhan, sekali lagi.
            Sedangkan Lisa terus saja berjalan. Dengan langkah cepat ia menjauh dari salah satu temannya itu, Dio. Entah kenapa kalimat itu terngiang-ngiang di telinganya. Menang atau menang. Menang atau menang. Menang atau menang. Seolah otak Lisa saat ini sedang menghapal sebuah rumus. Ataukah mungkin jika ia merubah paradigmanya tentang menang atau kalah, maka ia dapat menemukan jawaban atas kekeliruannya selama ini. Mungkin itu salah satu cara agar ia tidak dijauhi oleh teman-temannya lagi. Ya, benar. Itu adalah dengan paradigma sistem menang atau menang.
v   
Satu bulan kemudian…
            Gadis berambut pendek itu masih merasa gelisah. Ia duduk dalam keadaan cemas. Namun sebisa mungkin ia menutupi rasa tegangnya. Matanya terus menyisir seseorang yang sudah dari tadi ia cari. Dan begitu ia menengok ke sempingnya, cowok itu sudah duduk di bangku sebelahnya.
            “Dio. Kok kamu udah ada di sini. Perasaan dari tadi aku cari kamu nggak kelihatan deh.” Hanin tertawa kecil. Wajahnya sekarang malah terlihat tidak begitu cemas.
            Dio menghela napas. “Kebiasaan kamu yang gelisah itu harus cepet diberantas. Bahaya loh. Masa diomelin sedikit udah down. Dijutekin sedikit down. Kamu harus bisa lebih strong,” ucap Dio kepada teman baiknya tersebut.
            Hanin tersenyum samar. “Ya deh, nanti aku atasi itu. Tapi ngomong-ngomong soal jutek, Lisa gimana ya? Dia di mana sekarang.” Hanin menyisir setiap orang yang melewati pintu masuk. Beberapa menit kemudian gadis itu pun datang.
            “Tenang,” bisik cowok itu, pelan.
            Seluruh peserta sudah hadir di tempat olimpiade. Peserta dari berbagai sekolah SMA di provinsi Banten. Berbagai sambutan pun juga sudah dibacakan, dan saat ini adalah waktu para peserta untuk bertarung memperebutkan piala olimpiade biologi.
            Hanin dan Lisa bangkit dari kursi tempat ia duduk. Kemudian mereka berjalan menuju ruangan yang telah disediakan. Namun tiba-tiba Lisa menepuk pundaknya. “Hanin, apapun hasilnya yang penting adalah menang atau menang ya.”
            “Maksudnya?” tanya Hanin yang menatap Lisa dengan tatapan heran.
            “Untuk apa aku memandang kamu sebagai musuh. Lagian juga disetiap lomba pasti ada kalah dan menang dong, dan itu hal wajar. Tapi akan lebih baik lagi jika kita mengikuti sistem menang atau menang. Karena dengan begitu, gue akan bisa menganggap gue adalah pemenang dan kamu adalah pemenang. Jadi kita sama-sama pemenang,” ucap Lisa penuh gembira di wajahnya yang cantik. Sama sekali tidak ada lagi tampang jutek yang menghiasi mukanya saat bertemu dengan Hanin.
            Gadis berambut pendek itu masih tidak mengerti. Bagaimana bisa Lisa berubah menjadi baik seperti ini? Mungkinkah ini adalah mimpi?
            “Kamu kok…”
            “Ya, makasih juga untuk Dio yang udah membantu gue untuk merubah paradigma gue selama ini. Dari menang atau kalah menjadi menang atau menang,” jawabnya antusias.
            “Aaaa jadi ini karena Dio. Setelah ini aku wajib terima kasih padanya,” gumam Hanin sambil berjalan menuju ruang olimpiade. “Jadi kita teman ya.”
            “Ya, teman,” jawab Lisa, lembut.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar