The Winner
Oleh: Ine
Dwi Syamsudin
Jam
hampir menunjukkan angka dua belas. Lalu suara bel terdengar kencang.
Menandakan waktu istirahat kedua tiba. Teman di kelas satu persatu keluar dari
kelas, juga gadis berambut pendek itu. Tetapi suara perempuan memanggilnya dari
belakang.
“Hanin,”
panggil perempuan yang mengenakan seragam cokelat muda.
“Kamu
dipanggil Kepala Sekolah. Ditunggu di ruangannya sekarang,” ucap perempuan
tersebut. Kemudian ia berlalu menuju ruang guru.
Gadis
itu memutar matanya ke atas. Berpikir sejenak. “Ada apa ya?” tanyanya pada diri
sendiri. Kemudian ia berjalan menuju kantor Kepala Sekolah.
Kantor
itu, dengan pintu yang berwarna abu-abu tersebut tampak terbuka. Dari kejauhan,
ia dapat melihat seseorang tengah duduk di bangku menghadap Kepala Sekolah.
Rambutnya yang ikal menggantung itu seperti tidak asing bagi gadis itu. Entah
kenapa ia merasa gelisah. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju ruangan itu.
Kini ia sudah berdiri di ambang pintu.
“Permisi,”
ucapnya sambil melangkah masuk ke dalam.
“Silakan
duduk Hanin.” Bapak Kepala Sekolah mempersilakan.
Hanin,
gadis itu duduk di bangku tersebut. Tentu saja ia tidak sendiri. Tetapi bersama
dengan seorang remaja yang sangat ia kenal. Sekarang ia malah menatapnya dengan
sorot mata tajamnya dan senyum sinis. Membuat gadis bernama Hanin itu merasa
tegang.
“Maaf
ya Bapak membuat kalian bingung, kenapa kalian dipanggil ke ruangan ini.” Bapak
Kepala Sekolah memulai percakapan dalam suasana hening. Ia berhenti sejenak,
lalu melanjutkan, “Bapak sengaja memanggil kalian, karena Bapak ingin
mengirimkan kalian dalam olimpiade biologi tingkat SMA se-provinsi satu bulan
lagi. Bapak mengirimkan dua siswi terbaik dari sekolah ini. Jadi, Bapak harap
Lisa dan Hanin selama satu bulan ini bisa lebih giat berlatih, juga semoga Lisa
dan Hanin tetap bersatu.” Harap Bapak Kepala Sekolah.
Lisa
dan Hanin hanya terdiam. Mereka sibuk dalam pikiran masing-masing. Walaupun
Lisa tersenyum, tetapi sebetulnya ia tidak ingin jika satu olimpiade dengan
gadis yang duduk di sebelahnya itu. Sedangkan Hanin bukan tidak ingin, tapi ia
takut. Ia takut jika ia merasa down
karena perlakuan Lisa kepadanya.
Akhirnya
kedua siswi itu mengangguk, kemudian mereka permisi meninggalkan ruangan
tersebut.
“Lisa,
tunggu,” panggil Hanin dengan suara pelan.
Gadis
berambut ikal itu menatapnya sinis. “Lo tunggu aja, siapa yang akan menang dan
siapa yang akan kalah,” jawabnya ketus. Ia berlalu meninggalkan gadis polos
itu.
v
“Kenapa
sih Lisa seperti itu,” gerutu cewek dengan rambut pendek itu. Sedari tadi ia
hanya mengaduk es jeruk dengan sedotan tanpa meminumnya.
Teman
curhatnya itu menatapnya serius. “Mungkin, memang sifatnya dia jutek,” ucap
cowok itu.
Ruang
kantin makin ramai. Satu persatu siswa mulai memadati kantin. Mencari jajanan,
mengisi perut mereka yang mulai bernyanyi musik kerocong.
Tiba-tiba
Hanin menyiku lengan temannya. “Eh, Dio lihat deh. Lisa datang tuh,” ucapnya
berbisik. Matanya mengikuti langkah cewek jutek itu yang perlahan masuk kantin.
Gadis
jutek itu menengok dan mendapati kedua murid itu melihatnya dari kejauhan. Lisa
pun segera membalas tatapan kepada mereka. Tatapan sinis. Ya, lagi-lagi Lisa
menatap Hanin seperti itu.
Lisa,
Lisa dan Lisa. Ada apa dengan gadis itu, Hanin tidak tahu. Sebetulnya Hanin dan
Lisa sudah satu sekolah sejak duduk di bangku SD. Tetapi entah kenapa sikapnya
selalu jutek kepada Hanin. Sejak SD prestasi mereka di kelas memang bagus,
terbukti Lisa dan Hanin sering berada diperingkat pertama dan kedua. Terkadang,
Lisa yang menempati ranking satu dan
Hanin yang mendapat ranking dua.
Tetapi, kadang sebaliknya, Hanin yang mendapat peringkat satu di kelas,
sementara Lisa mendapat peringkat dua. Sedangkan juara ketiga biasanya di tempati
Dio, walaupun tidak sering. Begitupun juga saat SMP. Untung saja saat SMA,
mereka tidak satu kelas lagi.
“Nanti
aku coba bicara sama Lisa,” janji Dio kepada temannya, Hanin.
v
Siang ini rasanya tepat
sekali. Kelas Dio pulang lebih cepat lima menit sebelum bel berbunyi. Begitu
guru keluar dari kelas, cowok jangkung itu langsung melangkah cepat menuju
kelas IPA yang tidak jauh dari kelasnya. Hanya dipisahkan oleh tiga ruangan
kelas lain. Dan untung saja, kelas IPA tersebut masih belum pulang dan Dio
hanya menunggu beberapa menit lagi untuk menunggu bel dibunyikan.
Kringggggg. Bel sekolah. Pertanda
seluruh kelas siap pulang dan juga tentunya kelas IPA ini.
Murid kelas IPA satu keluar dari
kelasnya. Dio terus menyisir setiap siswi yang lewat. Mencari gadis itu, dan
dalam waktu singkat, ia sudah mendapatinya.
“Lisa,” panggil cowok itu.
Gadis itu terdiam. Ia bergegas pergi
namun tiba-tiba langkahnya tertahan. Ada sesuatu yang berat di tangannya. “Ishh
apaan sih,” gumamnya.
“Aku mau bicara empat mata sama
kamu. Sekarang di taman sekolah,” ucapnya sambil menarik lengan gadis jutek
itu.
Mau tidak mau Lisa hanya bisa
mengikuti langkah kaki cowok itu.
Dio mendudukkan tubuhnya di bangku
taman berwarna putih itu. Di sampingnya ada Lisa, gadis jutek temannya dari SD
sampai sekarang. Keduanya menatap rerumputan yang bergoyang ke kanan terkena
terpaan angin yang berhembus.
“Cepet, lo mau ngomong apa? Gue
nggak punya banyak waktu.” Suara Lisa yang tinggi membuat cowok itu tersadar
dari lamunannya.
Dio menghela napas. “Kenapa sih kamu
selalu jutek sama Hanin?” tanyanya pelan.
Lisa mendengus kesal. “Lo buang
waktu berharga gue tahu nggak, kalau cuma mau ngobrol tentang hal sepele itu,”
jawabnya dengan wajah kesal.
“Bukan hal sepele Lis, ini hal
serius,” sanggah Dio.
Gadis itu menggeleng. “Lo
bener-bener buang waktu gue aja tahu nggak!” ucapnya masih dengan suara
meninggi. Gadis itu bangkit dari kursi, dan hendak pergi.
“Tunggu…”
“Yaudah cepet, lo mau ngomong apa.”
Lisa menunda langkahnya sejenak.
“Aku bingung sama sikap kamu Lis,
kamu dan Hanin kan sudah satu kelas sejak SD, kenapa kamu anggap kalau Hanin
adalah musuh kamu? Padahal kalian sudah kenal sejak lama. Lagian menurut kamu,
apa alasan kamu selalu menatap Hanin sinis seperti itu?” cowok jangkung itu
mengeluarkan semua uneg-uneg tersebut.
Lisa menatap cowok di sebelahnya
tersebut. Ia menyipitkan matanya. “Masalahnya adalah gue benci sama Hanin.
Kenapa? Karena Hanin selalu menjadi pesaing gue sejak SD. Gue bosen kenapa
selalu dia yang terus mendapat peringkat pertama,” jawab gadis berambut ikal
tersebut.
Dio menatapnya heran. “Lho, bukannya
itu adalah wajar. Kalau kamu nggak dapat yang pertama, otomatis akan ada orang
lain yang mendapat posisi itu. Kamu nggak bisa terus menerus selalu ada di atas
Lis. Semua orang itu dalam hidupnya pasti selalu fluktuasi, bisa naik dan bisa turun,” jawab Dio dengan argumennya.
“Nggak, yang ada itu adalah menang
atau kalah,” sanggah Lisa. Ia menaikkan sebelah alisnya. “Kita lihat aja, siapa
yang menang dan siapa yang akan kalah.”
“Kamu salah Lisa. Kamu salah jika
menganut sistem berpikir tersebut. Cara yang terbaik adalah dengan berpikir
menang atau menang. Dan dengan begitu, kamu nggak akan lagi bertindak sinis
pada Hanin atau siapa pun yang berada di atas kamu. Karena kamu akan bisa
menganggap bahwa kamu adalah pemenang, dan lawanmu adalah pemenang,” cowok itu
menasehati. Berharap agar temannya itu dapat mengerti.
“Nggak penting,” jawabnya ketus,
gadis itu kemudian berlalu meninggalkannya sendiri.
“Ingat Lis. Buat cara berpikir
menang atau menang,” teriak Dio dari kejauhan, sekali lagi.
Sedangkan Lisa terus saja berjalan.
Dengan langkah cepat ia menjauh dari salah satu temannya itu, Dio. Entah kenapa
kalimat itu terngiang-ngiang di telinganya. Menang atau menang. Menang atau
menang. Menang atau menang. Seolah otak Lisa saat ini sedang menghapal sebuah
rumus. Ataukah mungkin jika ia merubah paradigmanya
tentang menang atau kalah, maka ia dapat menemukan jawaban atas kekeliruannya
selama ini. Mungkin itu salah satu cara agar ia tidak dijauhi oleh
teman-temannya lagi. Ya, benar. Itu adalah dengan paradigma sistem menang atau menang.
v
Satu
bulan kemudian…
Gadis berambut pendek itu masih
merasa gelisah. Ia duduk dalam keadaan cemas. Namun sebisa mungkin ia menutupi
rasa tegangnya. Matanya terus menyisir seseorang yang sudah dari tadi ia cari.
Dan begitu ia menengok ke sempingnya, cowok itu sudah duduk di bangku
sebelahnya.
“Dio. Kok kamu udah ada di sini. Perasaan
dari tadi aku cari kamu nggak kelihatan deh.” Hanin tertawa kecil. Wajahnya
sekarang malah terlihat tidak begitu cemas.
Dio menghela napas. “Kebiasaan kamu
yang gelisah itu harus cepet diberantas. Bahaya loh. Masa diomelin sedikit udah
down. Dijutekin sedikit down. Kamu harus bisa lebih strong,” ucap Dio kepada teman baiknya
tersebut.
Hanin tersenyum samar. “Ya deh,
nanti aku atasi itu. Tapi ngomong-ngomong soal jutek, Lisa gimana ya? Dia di
mana sekarang.” Hanin menyisir setiap orang yang melewati pintu masuk. Beberapa
menit kemudian gadis itu pun datang.
“Tenang,” bisik cowok itu, pelan.
Seluruh peserta sudah hadir di
tempat olimpiade. Peserta dari berbagai sekolah SMA di provinsi Banten.
Berbagai sambutan pun juga sudah dibacakan, dan saat ini adalah waktu para
peserta untuk bertarung memperebutkan piala olimpiade biologi.
Hanin dan Lisa bangkit dari kursi
tempat ia duduk. Kemudian mereka berjalan menuju ruangan yang telah disediakan.
Namun tiba-tiba Lisa menepuk pundaknya. “Hanin, apapun hasilnya yang penting
adalah menang atau menang ya.”
“Maksudnya?” tanya Hanin yang
menatap Lisa dengan tatapan heran.
“Untuk apa aku memandang kamu
sebagai musuh. Lagian juga disetiap lomba pasti ada kalah dan menang dong, dan
itu hal wajar. Tapi akan lebih baik lagi jika kita mengikuti sistem menang atau
menang. Karena dengan begitu, gue akan bisa menganggap gue adalah pemenang dan
kamu adalah pemenang. Jadi kita sama-sama pemenang,” ucap Lisa penuh gembira di
wajahnya yang cantik. Sama sekali tidak ada lagi tampang jutek yang menghiasi
mukanya saat bertemu dengan Hanin.
Gadis berambut pendek itu masih
tidak mengerti. Bagaimana bisa Lisa berubah menjadi baik seperti ini?
Mungkinkah ini adalah mimpi?
“Kamu kok…”
“Ya, makasih juga untuk Dio yang
udah membantu gue untuk merubah paradigma
gue selama ini. Dari menang atau kalah menjadi menang atau menang,”
jawabnya antusias.
“Aaaa jadi ini karena Dio. Setelah
ini aku wajib terima kasih padanya,” gumam Hanin sambil berjalan menuju ruang
olimpiade. “Jadi kita teman ya.”
“Ya, teman,” jawab Lisa, lembut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar