Menulis menentukan perubahan
Dalam aktivitas
sehari-hari masyarakat sudah akrab dengan kegiatan menulis. Menulis sendiri
telah dimulai sejak kanak-kanak, dan terus berlangsung hingga masa tua. Sewaktu
belajar di TK, anak akan belajar memegang pensil yang benar, kemudian belajar
menggoreskannya di kertas. Ketika memasuki sekolah dasar sampai perguruan
tinggi, murid serta mahasiswa tidak ada hari tanpa menulis, baik menggunakan
pena maupun dengan bantuan komputer. Begitu juga ketika beranjak ke dunia kerja
dan hari tua, manusia tidak pernah lepas dari kegiatan tersebut.
Setiap peserta didik dilatih untuk menulis
bukan tanpa suatu alasan, melainkan karena kegiatan menulis sangat penting.
Jika membaca merupakan jendela ilmu pengetahuan, maka menulis demikian sama
pentingnya dengan membaca. Dengan menulis, maka kita dapat membuka gerbang
peradaban yang lebih maju. Tulisan memiliki peranan dalam perkembangan suatu
bangsa.
Menurut
kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), menulis diartikan sebagai membuat huruf
(angka dan sebagainya) dengan pena (pensil, kapur, dan sebagainya). Menulis
juga dapat diartikan melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang,
membuat surat) dengan tulisan. Sementara menurut Hargrove dan Pottet dalam
Abdurrahman (1998: 239) mengemukakan bahwa menulis merupakan penggambaran
visual tentang pikiran, perasaan, dan ide dengan menggunakan simbol-simbol
sistem bahasa penulisannya untuk keperluan komunikasi atau mencatat.
Kegiatan
menulis memiliki keterkaitan yang erat antara masa lampau dengan masa depan. Flashback ke zaman pra sejarah, ketika
manusia belum mengenal huruf dan budaya tulis menulis. Namun sebenarnya manusia
sudah memiliki budaya melukis di dinding gua. Gambar tersebut berisi sekumpulan
informasi yang sengaja dibuat sebagai memori kejadian. Lukisan-lukisan itu
bermanfaat sebagai informasi kepada keturunannya dan sebagai bahan pembelajaran
bagi generasi saat ini.
Selanjutnya
memasuki zaman sejarah, yaitu manusia sudah mengenal huruf dan budaya menulis.
Indonesia memasuki zaman sejarah ketika kerajaan kutai mulai berdiri yaitu abad
ke 4 masehi. Bukti sejarah menemukan yupa atau tugu batu yang tertulis dengan
menggunakan huruf pallawa dan bahasa sansekerta. Dengan budaya menulis itu,
saat ini kita dapat meneliti ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah.
Melintasi
sejarah Islam terutama dalam bidang menulis, kitab suci Al-Qur’an juga memiliki
sejarahnya sendiri. Nabi membacakan wahyu yang turun, kemudian para hafidz
menghafal setiap ayat tersebut, juga menuliskannya di pelepah kurma, batu,
batang kayu dan sebagainya. Ketika masuk pemerintahan Abu Bakar di zaman
khalifah, Umar Bin Khatab mengusulkan ide untuk membukukan mushaf Al-Qur’an
dikarenakan berbagai factor salah satunya karena banyaknya hafidz yang telah
meninggal dunia dan dikhawatirkan ayat Al-Qur’an akan tercecer. Singkat kata,
begitu penting menulis sampai akhirnya kita dapat ikut merasakan manfaat dari
tulisan tersebut.
Sebuah
kalimat mutiara dari Ali Bin Abi Thalib tentang tulisan yaitu “Semua penulis
akan meninggal hanya karyanyalah yang akan abadi sepanjang masa. Maka tulislah
yang akan membahagiakan dirimu di akhirat nanti.” Tulisan ini mengingatkan kita
tentang pentingnya menulis. Bahkan karya itu akan terus hidup dan akan terus
bermanfaat kepada siapa yang membacanya.
Bicara
menulis memiliki peranan bagi perkembangan suatu bangsa, hal tersebut benar.
Dinasti Abbasiyah menaruh saham besar pada perkembangan ilmu pengetahuan. Pada
masanya, dibangun sebuah perpustakan besar bernama Bait Al-Hikmah, pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dan perpustakaan terbesar.
Penerjemahan buku asing digalakkan seperti buku filsafat Yunani. Sehingga
dinasti ini mampu berkuasa hingga lima ratus tahun.
Membuka
mata pada masa era modern, fakta yang terjadi adalah Negara Jepang mampu
menerbitkan 60.000 judul buku. Sementara, Inggris jauh lebih besar berada pada
angka 110.155 judul buku per tahun. Dengan
budaya menulis yang tinggi terbukti Negara-negara maju tersebut menjadi
Negara kuat yang penduduknya memiliki tingkat intelektual tinggi, kesejahteraan
serta kemajuan bangsanya dan dapat mewariskan ilmu pengetahuan kepada generasi
mendatang.
Sementara
mengkutip tulisan dari Ulfa Nur Zuhra dalam salah satu artikelnya, menurut
catatan terakhir Negara Indonesia hanya mampu menerbitkan 8000 judul buku.
Sedangkan Vietnam menerbitkan 15.000 judul buku. Bahkan menurut artikel yang
ditulis oleh Ruslan Burhani, minat ilmuwan di Indonesia dalam menulis jurnal
ilmiah masih rendah jika dibandingkan dengan Negara lain. Berdasarkan data dari
Scientific American Survey (1994)
menunjukkan kontribusi tahunan Scientist dan
Scholars Indonesia pada pengetahuan
sains, dan teknologi hanya 0,012 persen. Sementara Singapore mencapai 0,179
persen jika dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) angka yang dicapai
sebanyak 20 persen. Begitu rendahnya minat menulis di Indonesia.
Akhirnya
berdasarkan fakta yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa menulis itu sangat
penting. Dengan menulis, kita dapat mentransfer ilmu pengetahuan kepada
generasi penerus. Dengan menulis, masyarakat memiliki intelektual tinggi.
Dengan menulis, suatu bangsa dapat menjadi Negara maju. Karena itulah menulis
jika memang ingin membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar