Jumat, 28 Juli 2017

Menulis menentukan perubahan
               
Dalam aktivitas sehari-hari masyarakat sudah akrab dengan kegiatan menulis. Menulis sendiri telah dimulai sejak kanak-kanak, dan terus berlangsung hingga masa tua. Sewaktu belajar di TK, anak akan belajar memegang pensil yang benar, kemudian belajar menggoreskannya di kertas. Ketika memasuki sekolah dasar sampai perguruan tinggi, murid serta mahasiswa tidak ada hari tanpa menulis, baik menggunakan pena maupun dengan bantuan komputer. Begitu juga ketika beranjak ke dunia kerja dan hari tua, manusia tidak pernah lepas dari kegiatan tersebut.
                 Setiap peserta didik dilatih untuk menulis bukan tanpa suatu alasan, melainkan karena kegiatan menulis sangat penting. Jika membaca merupakan jendela ilmu pengetahuan, maka menulis demikian sama pentingnya dengan membaca. Dengan menulis, maka kita dapat membuka gerbang peradaban yang lebih maju. Tulisan memiliki peranan dalam perkembangan suatu bangsa.
            Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), menulis diartikan sebagai membuat huruf (angka dan sebagainya) dengan pena (pensil, kapur, dan sebagainya). Menulis juga dapat diartikan melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan. Sementara menurut Hargrove dan Pottet dalam Abdurrahman (1998: 239) mengemukakan bahwa menulis merupakan penggambaran visual tentang pikiran, perasaan, dan ide dengan menggunakan simbol-simbol sistem bahasa penulisannya untuk keperluan komunikasi atau mencatat.
            Kegiatan menulis memiliki keterkaitan yang erat antara masa lampau dengan masa depan. Flashback ke zaman pra sejarah, ketika manusia belum mengenal huruf dan budaya tulis menulis. Namun sebenarnya manusia sudah memiliki budaya melukis di dinding gua. Gambar tersebut berisi sekumpulan informasi yang sengaja dibuat sebagai memori kejadian. Lukisan-lukisan itu bermanfaat sebagai informasi kepada keturunannya dan sebagai bahan pembelajaran bagi generasi saat ini.
            Selanjutnya memasuki zaman sejarah, yaitu manusia sudah mengenal huruf dan budaya menulis. Indonesia memasuki zaman sejarah ketika kerajaan kutai mulai berdiri yaitu abad ke 4 masehi. Bukti sejarah menemukan yupa atau tugu batu yang tertulis dengan menggunakan huruf pallawa dan bahasa sansekerta. Dengan budaya menulis itu, saat ini kita dapat meneliti ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah.
            Melintasi sejarah Islam terutama dalam bidang menulis, kitab suci Al-Qur’an juga memiliki sejarahnya sendiri. Nabi membacakan wahyu yang turun, kemudian para hafidz menghafal setiap ayat tersebut, juga menuliskannya di pelepah kurma, batu, batang kayu dan sebagainya. Ketika masuk pemerintahan Abu Bakar di zaman khalifah, Umar Bin Khatab mengusulkan ide untuk membukukan mushaf Al-Qur’an dikarenakan berbagai factor salah satunya karena banyaknya hafidz yang telah meninggal dunia dan dikhawatirkan ayat Al-Qur’an akan tercecer. Singkat kata, begitu penting menulis sampai akhirnya kita dapat ikut merasakan manfaat dari tulisan tersebut.
            Sebuah kalimat mutiara dari Ali Bin Abi Thalib tentang tulisan yaitu “Semua penulis akan meninggal hanya karyanyalah yang akan abadi sepanjang masa. Maka tulislah yang akan membahagiakan dirimu di akhirat nanti.” Tulisan ini mengingatkan kita tentang pentingnya menulis. Bahkan karya itu akan terus hidup dan akan terus bermanfaat kepada siapa yang membacanya.
            Bicara menulis memiliki peranan bagi perkembangan suatu bangsa, hal tersebut benar. Dinasti Abbasiyah menaruh saham besar pada perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masanya, dibangun sebuah perpustakan besar bernama Bait Al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dan perpustakaan terbesar. Penerjemahan buku asing digalakkan seperti buku filsafat Yunani. Sehingga dinasti ini mampu berkuasa hingga lima ratus tahun.
            Membuka mata pada masa era modern, fakta yang terjadi adalah Negara Jepang mampu menerbitkan 60.000 judul buku. Sementara, Inggris jauh lebih besar berada pada angka 110.155 judul buku per tahun. Dengan  budaya menulis yang tinggi terbukti Negara-negara maju tersebut menjadi Negara kuat yang penduduknya memiliki tingkat intelektual tinggi, kesejahteraan serta kemajuan bangsanya dan dapat mewariskan ilmu pengetahuan kepada generasi mendatang.
            Sementara mengkutip tulisan dari Ulfa Nur Zuhra dalam salah satu artikelnya, menurut catatan terakhir Negara Indonesia hanya mampu menerbitkan 8000 judul buku. Sedangkan Vietnam menerbitkan 15.000 judul buku. Bahkan menurut artikel yang ditulis oleh Ruslan Burhani, minat ilmuwan di Indonesia dalam menulis jurnal ilmiah masih rendah jika dibandingkan dengan Negara lain. Berdasarkan data dari Scientific American Survey (1994) menunjukkan kontribusi tahunan Scientist dan Scholars Indonesia pada pengetahuan sains, dan teknologi hanya 0,012 persen. Sementara Singapore mencapai 0,179 persen jika dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) angka yang dicapai sebanyak 20 persen. Begitu rendahnya minat menulis di Indonesia.
            Akhirnya berdasarkan fakta yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa menulis itu sangat penting. Dengan menulis, kita dapat mentransfer ilmu pengetahuan kepada generasi penerus. Dengan menulis, masyarakat memiliki intelektual tinggi. Dengan menulis, suatu bangsa dapat menjadi Negara maju. Karena itulah menulis jika memang ingin membawa perubahan ke arah yang lebih baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar