Minggu, 18 Desember 2016






Belanja Batik Online

            Pada era modern, teknologi semakin berkembang. Segalanya dapat dihubungkan melalui koneksi internet. Hanya dengan klik pada handphone atau pc, maka semuanya akan dapat berjalan, sehingga terasa mudah.
            Dewasa ini, dengan pemanfaatan teknologi yang modern, banyak bermunculan situs website toko online. Orang dapat mudah melaksanakan transaksi belanja jarak jauh. Salah satu website online shop terbaik di Indonesia adalah Blibli.com
            Banyaknya buyer online shop Blibli.com tidak terlepas dari keunggulan toko ini, diantaranya: Kemudahan pembayaran, bunga 0%, juga kualitas produk yang terjamin.
            Saat ini Blibli.com memiliki kategori terbaru, galeri Indonesia, yaitu berupa produk-produk asli Indonesia. Produk ini merupakan hasil cipta karya anak bangsa yang tidak kalah bagus dari produk luar negeri, bahkan Produk Kreatif 100% Asli Indonesia yang Mendunia. Di galeri Indonesia, ada berbagai macam produk asli Indonesia berupa batik.
            Blossom Accusfom Orange. Geometric Batik Blouse. Blouse ini dirancang dengan model cantik. Blouse berwarna oranye cerah dengan potongan lengan sebahu atau ½. Memiliki back button clossure. Sedangkan kerahnya round neck, yaitu berbentuk bulat atau lonjong. Sangat cocok untuk orang yang memiliki dada kecil atau sedang. Didesain ethnicdengan motif batik yang sangat menarik. Material pada batik blouse ini menggunakan printing batik, yaitu proses pembuatan menggunakan sablon, jadi motif batiknya lebih detail. Untuk kaum hawa, jangan lupa memesan produk ini. Liburan akhir tahunmu cocok menggunakan blouse ini yang bergaya santai namun tetapanggun.
            Produk selanjutnya yang ada di galeri Indonesia yaitu Djoemat gembira K1604-51. Atasan batik kemeja hijau. Mau ke acara resepsi pernikahan? Mau merayakan akhir tahun bersama teman dan keluarga? Atau ingin sekedar hangout diliburan panjang? Bingung mau menggunakan item apa yang cocok digunakan? Inilah jawabannya, atasan batik kemeja. Tidak perlu takut lengan bajumu basah terkena air, karena lengan kemeja ini pendek. Desain kemeja ethnic,bermotif batik. Jadi kaum pria tidak perlu takut terlihat tampil dengan kemeja yang terlalu formal, karena produk ini didesain dengan motif batik yang cocok untuk acara formal atau pun nonformal. Material bahan yang digunakan produk ini adalah katun primissima, kain dengan kualitas paling baik karena terbuat dari bahan 100% cotton. Paling mulus, tidak kasar, juga tidak berstekstur. Kemeja ini juga memiliki pointed collar, hidden button opening.
            Mau pergi jalan tapi bingung menggunakan tasapa? Banyak tas di rumah tetapi tidak sesuai dengan acara yang sedang berlangsung atau tidak matching dengan outfit yang digunakan? Smesco Trade batik katun tas tangan coklat. Tas keci lmenggunakan material katun dan besi. Nyaman dibawa karena bahan yang digunakan cukup kuat. Tas ini merupakan clutch, yaitu tas kecil tanpa tali bahu, jadi terlihat santai namun tetap elegan. Desain produknya chic, terlihat feminim apalagi dengan warna coklat terkesan hangat. Ditambah motif berupa batik, motif asli Indonesia menggunakan main compartment dan magnetic clossure. Tas kecil ini sangat cocok untuk dibawa kemana saja. Jadi produk ini akan membuat gaya wanita semakin menawan.
Sudah tampil dengan baju keren, dan siap berangkat liburan namun belum lengkap rasanya jika tidak menggunakan benda kecil yang selalu melingkari pergelangan tangan. Wish W1002M/05E jam tangan analog watch. Dibuat dengan material Rose gold Stainless steel case. Material ini merupakan bahan yang tahan terhadap korosi dan mempunyai kekuatan yang sangat bagus. Serta menggunakan genuine leather strap yaitu tali jam yang terbuat dari kulit dan motif batik bunga. Jam tangan ini berdiamete rcase 40mm dan lebar strap 20mm. tidak hanya itu, jam tangan ini juga menggunakan japan movement atau mesin jepang. Kelebihan lainnya adalah jam tangan ini water resistance 30m dan rain resistant, jadi tahan air. Style kamu akan terlihat semakin trendy dengan jam tangan ini.
            Nah jadi tunggu apalagi? Ayo buruan belanja produk-produk batik untuk liburan akhir tahun. Dapatkan 100% Produk Kreatif Asli Indonesia hanya di blibli.com. Order sekarang juga. Blibli.com , big choices big deals.

 https://www.blibli.com/galeri-indonesia/GA-1000036


Mama Nafasku
Oleh: Ine Dwi Syamsudin

            Aku tidak bohong. Rasanya ini semua seperti mimpi. Aku ingin melompat tinggi begitu membaca kabar ini. Seolah ada balon udara yang menarikku terbang, lalu menjerit bahagia. Tapi bukan disini tempatnya, karena ini adalah tempat ramai. Aku pun menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Alhamdulillah,” ucapku dalam hati.
            Aku menggerakkan mouse di tangan kananku, menggiring kursor menuju tanda silang di pojok kanan atas pada layar. Sedetik kemudian halaman itu sudah tertutup dan tampilan monitor sudah kembali seperti awal.
            Aku menatap teman di sebelahku. Ku lihat ekspresi wajahnya yang mulai berubah. Perlahan ujung bibirnya mulai terangkat membentuk sebuah senyuman. Dari raut wajahnya yang seperti itu, aku sudah bisa menebak, pasti dia juga mendapat kabar yang sama seperti aku.
            Gadis itu menengok dan menatapku. “Pia, aku diterima,” ucap cewek berpotongan rambut layer itu.
            Melihat kebahagiaan temanku itu, aku pun ikut bahagia. Aku merasa lega karena dia juga mendapat kabar baik seperti aku.
            “Alhamdulillah, Lia. Aku juga diterima,” balasku tak kalah ceria.
            “Yeah, berarti nanti kita bisa ospek bareng di kampus,” seru Lia dengan wajah ceria.
            Kuliah. Sudah sejak lama aku bermimpi bisa kuliah di kampus favourit di Indonesia. Belajar di kampus PTN yang asri dan diterima diprodi yang aku minati. Dahulu, itu semua rasanya bagaikan mimpi, peminat kampus negeri banyak. Mungkinkah aku bisa menjadi salah satu orang yang diterima di kampus itu? Tetapi itu tidak mustahil, ada Allah yang mendengar doa aku. Terbukti, saat ini aku mendapat kabar bahwa aku diterima kuliah di salah satu kampus daerah Bogor. Malah mendapat bonus, sahabatku juga diterima di kampus itu. Dua kali lipat kebahagiaan itu.
            “Aaaaa tunggu sebentar,” ucap Lia tiba-tiba. Dia menatapku dengan tatapan bertanya.
            Aku menatapnya heran. “Ada apa?” tanyaku. Kulihat ekspresi wajahnya berubah sedih.
            “Pia, kalau kamu di sana, kamu sudah siap tinggal jauh dari Mamamu?” tanya Lia pelan.
            “Jauh dari Mama,” gumamku pelan.
v   
            Ruangan sudah gelap. Televisi dan laptop juga sudah dimatikan. Hanya tinggal handphone yang sesekali berbunyi karena ada chat masuk. Tapi aku rasa, sekarang orang yang ada di sana juga sudah mulai tertidur. Hanya aku yang malam-malam begini belum juga terlelap.
            Berbagai posisi tidur sudah ku coba, mulai dari telentang, miring, tengkurap, sampai duduk. Tetap saja kedua mataku ini belum mau istirahat. Pikiranku masih bekerja, ada yang mengganjal di benakku. Ya, perkataan Lia tadi siang masih melekat di benakku. Susah pergi dan tak mungkin juga aku menghiraukannya. Akhirnya ku putuskan untuk bangkit dari kasur empuk itu, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu.
            Aku sudah kembali dan siap untuk shalat istikharah, meminta petunjuk harus seperti apa. Kuliah di Bogor dan jauh dari Mama atau melupakan impianku demi tinggal dengan Mama?
v   
            Aku melangkah dari kamarku. Aku menatap ke ruangan itu. Ruangan yang lumayan besar untuk kaluargaku. Di tempat itu sudah ada perempuan berhijab syar’i tengah menata piring dan makanan di meja makan berwarna putih susu itu. Tampak seorang laki-laki berkumis tipis sudah siap duduk di kursi itu. Tiba-tiba perempuan itu memanggilku.
            “Pia, kamu sedang apa di sana? Ayo kita sarapan. Mama buat masakan kesukaanmu,” ucap Mama kepadaku yang masih berdiri di ambang pintu kamar.
            Aku mendekat dan duduk di kursi, tepatnya di hadapan Mama. Aku menatap Mama dan Papa, lalu mengitarkan pandanganku. Ruang makan ini memang besar, karena hanya diisi oleh tiga orang saja. Jika dulu ada ketiga kakaku yang membuat ramai ruang makan ini, sekarang mereka semua sudah menikah dan tidak tinggal di rumah ini. Alhasil, hanya ada Papa, Mama, dan aku yang duduk di ruang makan. Lalu bagaimana jika aku ikut pindah dari rumah?
            “Pia,” panggil Mama. “Kamu kenapa melamun?” tanya Mama.
            Aku menggeleng. “Nggak ada apa-apa kok Ma,” jawabku singkat. Rupanya Mama memerhatikanku. “Ma, aku mau tumis kacang panjang,” ucapku mengganti pembicaraan.
            Mama mengambilkan tumis kacang panjang itu di atas piringku. Tumis kacang panjanng adalah salah satu makanan kesukaanku. Biasanya aku akan habis melahap nasi dengan lauk itu. Tapi pagi ini, nafsu makanku hilang, beban itu masih mengganjal. Lagi-lagi tatapan Mama mengarah kepadaku.
            “Pia, kamu kenapa? Kamu ada masalah?” tanya Mama.
            Aku mengangguk, “Pa, Ma, Pia mau cerita.”
            “Yasudah cerita saja,” jawab Papa singkat.
            Aku menatap Papa dan Mama. Ku perhatikan wajah kedua orangtuaku berubah. Tidak seperti lima tahun lalu. Ku lihat wajah Mama. Garis-garis penuaan sudah tampak di sekitar pipinya. Begitu juga kerutan di dahi Mama. Aku memerhatikan wajah Papa juga sama. Ada kerutan di dahinya, dan rambut putih yang ikut meramaikan rambut di kepala Papa. Ah, aku baru kali ini memerhatikannya. Papa dan Mama sudah mulai tua, lalu siapa yang akan merawatnya jika aku pergi meninggalkan mereka? Aku pun terlahir sebagai anak bungsu yang sangat manja dengan mereka. Yang selalu minta ikut kemana pun mereka pergi. Lalu aku sekarang dengan teganya pergi meninggalkan mereka?
            “Pa, Ma, jika aku pindah dari sini gimana?” tanyaku pelan. Aku terpaksa memberanikan diri bertanya demikian.
            Papa menatapku heran. “Maksudnya? Kamu mau pindah kemana?” Papa menaikkan sebelah alisnya.
            Aku menundukkan wajah. Mataku sudah berkaca-kaca. “Aku harus menyelesaikannya.” Dorongan hatiku berkata demikian.
            Mama menatapku. “Pia, kamu mau pindah.” Suara Mama terdengar pelan di telingaku. Seolah Mama menahan suaranya.
            “Pa, Ma, aku di terima di PTN daerah Bogor. Aku lulus seleksi. Papa dan Mama kan tahu kalau aku dari dulu ingin banget kuliah di kampus itu. Tapi gimana dengan Papa dan Mama?” walaupun berat, kata-kataku itu keluar juga.
            Papa menghela napas. “Jangan pikirkan kami. Pikirkan cita-citamu,” ucap Papa dengan suara beratnya.
            “Pia, anak Mama. Mama dukung cita-citamu walaupun Mama nggak yakin sanggup berpisah jauh dari kamu.” Mama memberikan jawaban itu. Ada nada terpaksa di sana.
            Sedangkan Papa menyiku lengan Mama. “Kalau kamu kangen Mama dan Papa, kan bisa telepon atau sms. Percaya Papa Mama nggak kenapa-kenapa kok,” jawab Papa tegas.
            “Makasih Ma, Pa,” ucapku pelan. Air mata mengalir di pipiku.
v   
            Hari sudah agak siang. Matahari menyorot bumi. Memberi semangat baru dalam hidup.
            Aku menarik koper hitam itu. Membawanya ke dalam mobil. Mobil hitam itu juga sudah dinyalakan. Ku lihat Papa sudah siap mengendarai kendaraan itu. Sedangkan Mama dari tadi hanya berdiri di teras rumah. Perempuan itu menatapku nanar. Aku dapat melihat tangis yang dia tahan di pelupuk matanya. Aku dapat merasakan berat hati yang dia alami saat ini.
            Jujur saja, aku juga merasakan hal yang sama. Aku tidak sanggup jauh dari Mama. Aku tidak bisa. Aku menatap Mama lekat. Aku teringat jawaban shalat istikharahku beberapa minggu ini. Aku berusaha menguatkan diriku. Apapun yang terjadi, mungkin inilah pilihan Allah untukku. Allah maha mengetahui. Allah punya rencana lain.
            Aku menatap Papa lekat. “Pa, aku nggak jadi ke Bogor,” ucapku tegas.
            Papa melihatku heran. “Kenapa?” dia mematikan mesin, lalu turun dari mobil dan berjalan mengikutiku yang melangkah menghampiri Mama.
            Aku mendekat, lalu memeluk Mama erat. “Ma, maafkan Pia. Pia nggak bisa tinggal jauh dari Mama. Pia nggak sanggup Ma,” ucapku sambil memeluk perempuan yang menjadi pahlawan bagiku.
            Mama melepas pelukan itu. Dia menatapku lekat. “Nggak usah pikirkan Mama. Pikirkan tentang kamu,” ucap Mama dengan suara serak. Mata Mama terlihat berkaca-kaca.
            “Ma, sebetulnya aku juga belum yakin dengan pilihanku kuliah di Bogor. Setelah shalat istikharah, hatiku lebih condong kepada Mama dan Papa. Aku berat untuk pergi.” Sekarang malah suaraku yang terdengar serak.
            “Tapi Mama nggak mau kamu menyesal.” Lagi-lagi Mama terlihat kuat, padahal hatinya sedih.
            “Pa, Ma, aku bisa kuliah di Jakarta. Kalau ada rejeki, aku bisa S2 di Bogor.” Aku berusaha meyakinkan Mama.
            “Papa dukung keputusanmu Pia,” ucap Papa kepadaku sambil menepuk pundakku.
            “Pa, Ma, buat aku, semakin dewasa itu bukannya dengan cara aku belajar mandiri jauh dari Papa Mama, tetapi dengan tetap berada di samping Papa Mama. Merawat Papa dan Mama. Karena apa? Papa dan Mama adalah nafas untukku.” Aku menatap Mama lekat.
            Perlahan Mama mengangguk dan setuju bahwa aku akan tetap tinggal bersama Papa dan Mama. Karena Papa dan Mama nafasku.
           

Rabu, 09 November 2016



Lilin

                Langit sore tampak gelap. Awan-awan yang tadi berwarna putih mulai tersingkir menjadi hitam yang tersebar di mana-mana. Kilatan cahaya menyeramkan juga muncul, disusul gemuruh nyaring di angkasa. Kemudian awan kelabu itu menangis hebat. Hujun pun turun deras.
            Gadis itu menatap jendela besar yang ada di sisi kiri tempat tidurnya. Menampakkan keadaan di luar yang menyeramkan. Jendela itu belum sempat tertutup gorden, karena gadis itu baru saja selesai membersihkan tubuhnya dan saat ia memasuki kamar, ia baru sadar dengan kaedaan itu.
            Gadis itu hanya dapat duduk meringkuk. Ia memeluk kedua kakinya. Dagunya ia tempelkan di lutut. Kedua matanya ia pejamkan erat. Rambutnya yang berponi turut menutupi alisnya. Gadis itu sangat gelisah. Sekilat bayangan kelam mulai menghantui dirinya.
            Hujan semakin deras saja. Tiupan angin yang kencang seolah mampu merobohkan pepohonan. Lalu suara petir terdengar dahsyat, seperti menyambar bumi. Sedetik kemudian pun lampu padam.
            “Tante……..” gadis itu berteriak.
            Ruang tidur yang tadi terang, kini menjadi gelap. Tidak terlihat apapun. Tidak ada seorangpun selain dirinya di kamar itu. Ruangan yang gelap membawanya kembali pada masa lalu. Otaknya seperti pita kaset yang sedang diputar mundur. Gadis itu melihat kisah itu lagi. Sebuah kisah hidupnya yang membuatnya trauma seperti ini. Rasa sepi kian menjuluri tubuhnya. Gadis itu semakin erat memeluk kedua kakinya.
            Tiba-tiba pintu kamar terbuka. “Renata.” Suara lembut menyapa dalam kegelapan.
            Gadis itu perlahan membuka kedua matanya. Ia mengerjapkan mata, mencari sosok itu. Ia menemukan perempuan itu di hadapannya. Menatapnya cemas.
            “Tante, Renata takut. Tante Nilam di sini aja. Tante jangan kemana-mana,” ucapnya dengan suara bergetar. Wajahnya masih menampakkan rasa trauma.
            “Iya sayang. Tante ada di sini untuk kamu,” ucapnya lembut. Perempuan itu langsung memeluk gadis itu. Membawanya dalam dekapannya agar lebih tenang.
            Tante Nilam. Seseorang yang hanya Renata miliki setelah kedua orang tuanya telah tiada karena kisah mengerikan itu. Selama ini, Renata diasuh oleh Tante Nilam, adik dari ibunya.

v   

            Gadis berponi itu menatap kalender meja di atas meja belajarnya. Tatapannya terpaku pada tanggal yang ia lingkari dengan warna merah. Tepat pada hari ini, tanggal itu, hari ulang tahunnya.
            Rasanya sudah lama sekali ia tidak lagi merayakan ulang tahun. Semenjak kejadian itu, ia takut akan semua hal tentang ulang tahun. Ia takut dengan kue juga lilin. Ya, lilin itu yang membuatnya trauma.
            Sepuluh tahun lalu, saat usianya menginjak tujuh tahun, kejadian itu terjadi. Pada hari ulang tahunnya, kedua orangtuanya memberinya kue ulang tahun lengkap dengan lilin kecil di atasnya. Awalnya semua berjalan manis, kue ulang tahun yang cantik, lagu dan tepukan selamat ulang tahun, juga beberapa kado yang dibungkus indah. Tetapi tiba-tiba lampu padam. Ruangan menjadi gelap. Pesta terhenti. Mama bergegas mengambil sebatang lilin dan menyalakannya. Ia menyuruh gadis kecil itu tidur dan menaruh lilin itu di sisi kiri tempat tidur, di atas meja. Api hangat itu bergoyang ke kanan dan kiri, lalu merambat ke gorden berwarna pink yang letaknya sangat dekat dengan api. Api kian membesar. Gadis kecil itu terbangun, ia melihat api menjadi ganas, memakan seisi ruangan. Napas gadis kecil itu terasa sesak, terlalu banyak asap yang ia hirup. Sosok Papa menghampiri. Ia menggendong gadis itu dan membawanya keluar rumah. Namun Papa kembali ke dalam menyelamatkan Mama yang masih terjebak di rumah. Sayangnya, api sudah semakin membesar. Papa dan Mama terjebak di dalam rumah, dan naas, Papa dan Mama tidak dapat diselamatkan.
            Renata mendesah pelan. “Seandainya Papa dan Mama masih ada. Seandainya Papa dan Mama bias melihatku di hari ulang tahunku yang ke-17 tahun,” ucapnya lirih. Setetes air mata terjatuh. Gadis itu segera menghapusnya, lalu beranjak meninggalkan kamar.
           
v   

                “Renataaaaa.”
            Gadis itu baru saja mendudukkan tubuhnya di bangku ketika dua remaja menyambutnya dengan teriakan heboh.
            “Yaampun. Kalian apaan sih,” ucapnya datar.
            Happy Birthday Renata.” Gadis-gadis itu mengucapkan selamat kepada Renata. Mereka memberi selamat.
            Remaja itu tersenyum manis. “Thanks ya, kalian sudah selalu ada untukku,” jawabnya lembut.
            “Oh iya Re, kamu dapat undangan nih.” Ucap gadis berambut sebahu itu.
            “Dari siapa?” tanya Renata. Gadis itu menaikkan sebelah alisnya.
            Gadis berambut sebahu itu menopang dagu di atas meja Renata. “Mmmm mau tahu aja, atau mau tahu banget?” ucapnya membuat Renata penasaran. Ia malah menggoda temannya yang sedang berulang tahun itu.
            Renata mencemberutkan bibirnya. Memasang wajah bt. “Cepetan Amel. Ada undangan apa? Siapa yang undang? Jangan biasa membuat aku penasaran deh.”
            Amel terkekeh. Gadis itu memang paling senang melihat teman-temannya penasaran. “Oke, Amel kasih tahu.” Ucapan gadis itu terhenti. Ia menatap wajah temannya yang tak sabar menunggu jawaban. “Kamu dapat undangan dari Restu. Restu akan mengadakan acara ulang tahunnya yang ke-17 di café gaul. Cieee Renata,” ucapnya seraya tertawa kecil.
            Renata tersenyum malu. Rona mukanya tiba-tiba berubah menjadi merah muda, setiap mengingat cowok itu.
            Restu. Cowok berpostur tubuh tinggi, tegap, kulitnya sawo matang, membuat beberapa remaja menyukainya. Termasuk Renata, gadis cantik dengan potongan rambut poninya. Cowok itu memang memiliki tanggal lahir yang tidak jauh dari Renata. Hanya berbeda satu minggu saja. Restu juga temannya dari SMP. Ia juga tahu tentang gadis itu, termasuk trauma yang dialami Renata.
            Amel menepuk pelan pundak Renata. “Ciee yang mikirin Restu,” ledek gadis itu, ceria.
            Renata tersadar dari lamunannya. Ia menatap dengan pandangan sedih. “Tapi aku takut. Kamu kan tahu aku trauma dengan itu semua. Kue, lilin, juga kegelapan pesta.” Gadis itu berbicara dengan suara bergetar. Mengingat lagi masa lalunya.
            “Kamu nggak boleh gitu Renata. Kamu harus bisa melupakan trauma itu. Aku yakin kamu bisa. Kejadian di masa lalu kamu itu sudah takdir Allah. Jadi kamu harus melawan rasa takut itu ya.” Gadis berhijab itu menguatkannya. Memberinya nasehat.
            “Makasih Aisyah. Aku akan coba untuk nggak takut,” jawabnya pada gadis berhijab itu.
            “Kita sayang Renata.” Ucap kedua gadis itu, seraya memeluk sahabatnya erat.

v   
Remaja berponi itu menatap café tersebut ragu. Kakinya terasa berat untuk melangkah ke dalam.
Aisyah menatap sahabatnya perihatin. “Kenapa berhenti Re? Ayo masuk,” ajaknya sambil menarik lengan gadis itu.
“Tapi…” gadis itu masih saja bimbang.
“Restu sudah nunggu di dalam tuh,” ceplos Amel. Ia selalu punya cara untuk membuat Renata tertawa.
Gadis itu tersenyum. Ia akhirnya melangkah masuk. Gadis itu mengamati seisi ruangan. Café dengan dinding berwarna coklat bercampur krem, terlihat hangat. Namun entah kenapa ia malah tidak nyaman. Rasa khawatir kembali lagi.
Restu berdiri di tengah ruangan. Cowok itu mengenakan jeans, sepatu kulit berwarna coklat, dan atasannya baju lengan panjang dengan motif garis putih coklat. Cowok itu menatap jam yang melingkari pergelangan tangannya, menunggu seseorang.
Renata, Aisyah, dan Amel menghampiri cowok itu. Renata mematung di hadapan cowok manis itu. Tatapannya seolah tak berkedip. Namun secepatnya ia tersadar. Gadis itu pun memberikan sebuah kotak kado berukuran sedang. Aisyah dan Amel juga memberikan kado kepada cowok itu.
Happy birthday Restu,” ucap Renata, lembut. Gadis itu menjabatkan tangannya. Mengucapkan selamat kepada cowok yang berdiri di hadapannya.
Thanks ya Re. oh iya, aku ada kado untuk kamu,” ucap cowok itu.
“Oh ya? Mana?” balas Renata dengan wajah merona. Bibirnya menyunggingkan senyum.
“Tunggu sebentar,” jawabnya singkat.
Tiba-tiba lampu padam. Tidak terlihat apapun di dalam ruangan. Gadis itu panik. Ia berusaha mencari teman-temannya.
“Amel, Aisyah? Kalian di mana?” suaranya terdengar panik.
“Tenang Renata, ada aku di sini.” Restu berusaha menenangkannya. Cowok itu menggenggam jemari gadis tersebut.
Renata menitikan air mata. “Restu. Aku takut,” ucapnya lirih.
“Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu menemani kamu,” jawab Restu, tegas.
“Maksud kamu?”
Lampu kembali hidup. Renata dapat melihat semuanya. Tiba-tiba ia dan Restu sudah ada di tengah kerumunan teman-temannya. Ia masih shock dengan kejadian barusan. Sekarang ia bingung kenapa semua temannya menatapnya.
Cowok itu menatap gadis di hadapannya. “Kamu mau tahu nggak kado dari aku apa?” tanyanya seraya menyunggingkan senyum.
Renata hanya mengangguk.
“Kamu lihat ke sana,” ucapnya seraya menunjuk ke sebuah lantai.
Gadis itu menatap lantai tersebut. Ia mengerjapkan matanya. Bagaikan mimpi. Kini jantungnya terasa berdebar lebih kencang. Rangkaian tulisan I love you yang terbuat dari lillin-lilin.
“Maukah kamu menjadi pacar aku? Aku akan selalu setia bersama kamu,” ucap cowok itu tiba-tiba. Ia menanti penuh harap.
“Apa kamu nggak malu dengan traumaku itu?” tanya Renata. Ia menimbang-nimbang. Gadis itu malu dengan sikap anehnya.
“Aku nggak malu. Aku sayang kamu,” jawabnya pasti. “Gimana?” tanyanya sekali lagi.
Renata mengangguk. “Ya, aku mau jadi pacar kamu,” ucapnya pelan. Rasa haru menyelimuti hatinya.

Restu memeluk gadis itu erat. “Jangan takut Renata. Aku akan membantumu melupakan trauma itu,” ucapnya meyakini gadis yang ia sayang.