Mama
Nafasku
Oleh:
Ine Dwi Syamsudin
Aku
tidak bohong. Rasanya ini semua seperti mimpi. Aku ingin melompat tinggi begitu
membaca kabar ini. Seolah ada balon udara yang menarikku terbang, lalu menjerit
bahagia. Tapi bukan disini tempatnya, karena ini adalah tempat ramai. Aku pun
menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Alhamdulillah,” ucapku dalam
hati.
Aku
menggerakkan mouse di tangan kananku,
menggiring kursor menuju tanda silang di pojok kanan atas pada layar. Sedetik
kemudian halaman itu sudah tertutup dan tampilan monitor sudah kembali seperti awal.
Aku
menatap teman di sebelahku. Ku lihat ekspresi wajahnya yang mulai berubah.
Perlahan ujung bibirnya mulai terangkat membentuk sebuah senyuman. Dari raut
wajahnya yang seperti itu, aku sudah bisa menebak, pasti dia juga mendapat
kabar yang sama seperti aku.
Gadis
itu menengok dan menatapku. “Pia, aku diterima,” ucap cewek berpotongan rambut
layer itu.
Melihat
kebahagiaan temanku itu, aku pun ikut bahagia. Aku merasa lega karena dia juga
mendapat kabar baik seperti aku.
“Alhamdulillah,
Lia. Aku juga diterima,” balasku tak kalah ceria.
“Yeah,
berarti nanti kita bisa ospek bareng di kampus,” seru Lia dengan wajah ceria.
Kuliah.
Sudah sejak lama aku bermimpi bisa kuliah di kampus favourit di Indonesia. Belajar di kampus PTN yang asri dan diterima
diprodi yang aku minati. Dahulu, itu semua rasanya bagaikan mimpi, peminat
kampus negeri banyak. Mungkinkah aku bisa menjadi salah satu orang yang
diterima di kampus itu? Tetapi itu tidak mustahil, ada Allah yang mendengar doa
aku. Terbukti, saat ini aku mendapat kabar bahwa aku diterima kuliah di salah
satu kampus daerah Bogor. Malah mendapat bonus, sahabatku juga diterima di
kampus itu. Dua kali lipat kebahagiaan itu.
“Aaaaa
tunggu sebentar,” ucap Lia tiba-tiba. Dia menatapku dengan tatapan bertanya.
Aku
menatapnya heran. “Ada apa?” tanyaku. Kulihat ekspresi wajahnya berubah sedih.
“Pia,
kalau kamu di sana, kamu sudah siap tinggal jauh dari Mamamu?” tanya Lia pelan.
“Jauh
dari Mama,” gumamku pelan.
v
Ruangan
sudah gelap. Televisi dan laptop juga sudah dimatikan. Hanya tinggal handphone yang sesekali berbunyi karena
ada chat masuk. Tapi aku rasa, sekarang orang yang ada di sana juga sudah mulai
tertidur. Hanya aku yang malam-malam begini belum juga terlelap.
Berbagai
posisi tidur sudah ku coba, mulai dari telentang, miring, tengkurap, sampai
duduk. Tetap saja kedua mataku ini belum mau istirahat. Pikiranku masih
bekerja, ada yang mengganjal di benakku. Ya, perkataan Lia tadi siang masih
melekat di benakku. Susah pergi dan tak mungkin juga aku menghiraukannya.
Akhirnya ku putuskan untuk bangkit dari kasur empuk itu, lalu melangkah menuju
kamar mandi untuk berwudhu.
Aku
sudah kembali dan siap untuk shalat istikharah, meminta petunjuk harus seperti
apa. Kuliah di Bogor dan jauh dari Mama atau melupakan impianku demi tinggal
dengan Mama?
v
Aku
melangkah dari kamarku. Aku menatap ke ruangan itu. Ruangan yang lumayan besar
untuk kaluargaku. Di tempat itu sudah ada perempuan berhijab syar’i tengah
menata piring dan makanan di meja makan berwarna putih susu itu. Tampak seorang
laki-laki berkumis tipis sudah siap duduk di kursi itu. Tiba-tiba perempuan itu
memanggilku.
“Pia,
kamu sedang apa di sana? Ayo kita sarapan. Mama buat masakan kesukaanmu,” ucap
Mama kepadaku yang masih berdiri di ambang pintu kamar.
Aku
mendekat dan duduk di kursi, tepatnya di hadapan Mama. Aku menatap Mama dan
Papa, lalu mengitarkan pandanganku. Ruang makan ini memang besar, karena hanya
diisi oleh tiga orang saja. Jika dulu ada ketiga kakaku yang membuat ramai
ruang makan ini, sekarang mereka semua sudah menikah dan tidak tinggal di rumah
ini. Alhasil, hanya ada Papa, Mama, dan aku yang duduk di ruang makan. Lalu
bagaimana jika aku ikut pindah dari rumah?
“Pia,”
panggil Mama. “Kamu kenapa melamun?” tanya Mama.
Aku
menggeleng. “Nggak ada apa-apa kok Ma,” jawabku singkat. Rupanya Mama
memerhatikanku. “Ma, aku mau tumis kacang panjang,” ucapku mengganti
pembicaraan.
Mama
mengambilkan tumis kacang panjang itu di atas piringku. Tumis kacang panjanng
adalah salah satu makanan kesukaanku. Biasanya aku akan habis melahap nasi
dengan lauk itu. Tapi pagi ini, nafsu makanku hilang, beban itu masih
mengganjal. Lagi-lagi tatapan Mama mengarah kepadaku.
“Pia,
kamu kenapa? Kamu ada masalah?” tanya Mama.
Aku
mengangguk, “Pa, Ma, Pia mau cerita.”
“Yasudah
cerita saja,” jawab Papa singkat.
Aku
menatap Papa dan Mama. Ku perhatikan wajah kedua orangtuaku berubah. Tidak
seperti lima tahun lalu. Ku lihat wajah Mama. Garis-garis penuaan sudah tampak
di sekitar pipinya. Begitu juga kerutan di dahi Mama. Aku memerhatikan wajah
Papa juga sama. Ada kerutan di dahinya, dan rambut putih yang ikut meramaikan
rambut di kepala Papa. Ah, aku baru kali ini memerhatikannya. Papa dan Mama
sudah mulai tua, lalu siapa yang akan merawatnya jika aku pergi meninggalkan
mereka? Aku pun terlahir sebagai anak bungsu yang sangat manja dengan mereka.
Yang selalu minta ikut kemana pun mereka pergi. Lalu aku sekarang dengan
teganya pergi meninggalkan mereka?
“Pa,
Ma, jika aku pindah dari sini gimana?” tanyaku pelan. Aku terpaksa memberanikan
diri bertanya demikian.
Papa
menatapku heran. “Maksudnya? Kamu mau pindah kemana?” Papa menaikkan sebelah
alisnya.
Aku
menundukkan wajah. Mataku sudah berkaca-kaca. “Aku harus menyelesaikannya.”
Dorongan hatiku berkata demikian.
Mama
menatapku. “Pia, kamu mau pindah.” Suara Mama terdengar pelan di telingaku.
Seolah Mama menahan suaranya.
“Pa,
Ma, aku di terima di PTN daerah Bogor. Aku lulus seleksi.
Papa dan Mama kan tahu kalau aku dari dulu ingin banget kuliah di kampus itu.
Tapi gimana dengan Papa dan Mama?” walaupun berat, kata-kataku itu keluar juga.
Papa
menghela napas. “Jangan pikirkan kami. Pikirkan cita-citamu,” ucap Papa dengan
suara beratnya.
“Pia,
anak Mama. Mama dukung cita-citamu walaupun Mama nggak yakin sanggup berpisah
jauh dari kamu.” Mama memberikan jawaban itu. Ada nada terpaksa di sana.
Sedangkan
Papa menyiku lengan Mama. “Kalau kamu kangen Mama dan Papa, kan bisa telepon
atau sms. Percaya Papa Mama nggak kenapa-kenapa kok,” jawab Papa tegas.
“Makasih
Ma, Pa,” ucapku pelan. Air mata mengalir di pipiku.
v
Hari
sudah agak siang. Matahari menyorot bumi. Memberi semangat baru dalam hidup.
Aku
menarik koper hitam itu. Membawanya ke dalam mobil. Mobil hitam itu juga sudah
dinyalakan. Ku lihat Papa sudah siap mengendarai kendaraan itu. Sedangkan Mama
dari tadi hanya berdiri di teras rumah. Perempuan itu menatapku nanar. Aku
dapat melihat tangis yang dia tahan di pelupuk matanya. Aku dapat merasakan
berat hati yang dia alami saat ini.
Jujur
saja, aku juga merasakan hal yang sama. Aku tidak sanggup jauh dari Mama. Aku
tidak bisa. Aku menatap Mama lekat. Aku teringat jawaban shalat istikharahku
beberapa minggu ini. Aku berusaha menguatkan diriku. Apapun yang terjadi,
mungkin inilah pilihan Allah untukku. Allah maha mengetahui. Allah punya
rencana lain.
Aku
menatap Papa lekat. “Pa, aku nggak jadi ke Bogor,” ucapku tegas.
Papa
melihatku heran. “Kenapa?” dia mematikan mesin, lalu turun dari mobil dan
berjalan mengikutiku yang melangkah menghampiri Mama.
Aku
mendekat, lalu memeluk Mama erat. “Ma, maafkan Pia. Pia nggak bisa tinggal jauh
dari Mama. Pia nggak sanggup Ma,” ucapku sambil memeluk perempuan yang menjadi
pahlawan bagiku.
Mama
melepas pelukan itu. Dia menatapku lekat. “Nggak usah pikirkan Mama. Pikirkan
tentang kamu,” ucap Mama dengan suara serak. Mata Mama terlihat berkaca-kaca.
“Ma,
sebetulnya aku juga belum yakin dengan pilihanku kuliah di Bogor. Setelah
shalat istikharah, hatiku lebih condong kepada Mama dan Papa. Aku berat untuk
pergi.” Sekarang malah suaraku yang terdengar serak.
“Tapi
Mama nggak mau kamu menyesal.” Lagi-lagi Mama terlihat kuat, padahal hatinya
sedih.
“Pa,
Ma, aku bisa kuliah di Jakarta. Kalau ada rejeki, aku bisa S2 di Bogor.” Aku
berusaha meyakinkan Mama.
“Papa
dukung keputusanmu Pia,” ucap Papa kepadaku sambil menepuk pundakku.
“Pa,
Ma, buat aku, semakin dewasa itu bukannya dengan cara aku belajar mandiri jauh
dari Papa Mama, tetapi dengan tetap berada di samping Papa Mama. Merawat Papa
dan Mama. Karena apa? Papa dan Mama adalah nafas untukku.” Aku menatap Mama
lekat.
Perlahan
Mama mengangguk dan setuju bahwa aku akan tetap tinggal bersama Papa dan Mama.
Karena Papa dan Mama nafasku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar