Minggu, 18 Desember 2016



Mama Nafasku
Oleh: Ine Dwi Syamsudin

            Aku tidak bohong. Rasanya ini semua seperti mimpi. Aku ingin melompat tinggi begitu membaca kabar ini. Seolah ada balon udara yang menarikku terbang, lalu menjerit bahagia. Tapi bukan disini tempatnya, karena ini adalah tempat ramai. Aku pun menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Alhamdulillah,” ucapku dalam hati.
            Aku menggerakkan mouse di tangan kananku, menggiring kursor menuju tanda silang di pojok kanan atas pada layar. Sedetik kemudian halaman itu sudah tertutup dan tampilan monitor sudah kembali seperti awal.
            Aku menatap teman di sebelahku. Ku lihat ekspresi wajahnya yang mulai berubah. Perlahan ujung bibirnya mulai terangkat membentuk sebuah senyuman. Dari raut wajahnya yang seperti itu, aku sudah bisa menebak, pasti dia juga mendapat kabar yang sama seperti aku.
            Gadis itu menengok dan menatapku. “Pia, aku diterima,” ucap cewek berpotongan rambut layer itu.
            Melihat kebahagiaan temanku itu, aku pun ikut bahagia. Aku merasa lega karena dia juga mendapat kabar baik seperti aku.
            “Alhamdulillah, Lia. Aku juga diterima,” balasku tak kalah ceria.
            “Yeah, berarti nanti kita bisa ospek bareng di kampus,” seru Lia dengan wajah ceria.
            Kuliah. Sudah sejak lama aku bermimpi bisa kuliah di kampus favourit di Indonesia. Belajar di kampus PTN yang asri dan diterima diprodi yang aku minati. Dahulu, itu semua rasanya bagaikan mimpi, peminat kampus negeri banyak. Mungkinkah aku bisa menjadi salah satu orang yang diterima di kampus itu? Tetapi itu tidak mustahil, ada Allah yang mendengar doa aku. Terbukti, saat ini aku mendapat kabar bahwa aku diterima kuliah di salah satu kampus daerah Bogor. Malah mendapat bonus, sahabatku juga diterima di kampus itu. Dua kali lipat kebahagiaan itu.
            “Aaaaa tunggu sebentar,” ucap Lia tiba-tiba. Dia menatapku dengan tatapan bertanya.
            Aku menatapnya heran. “Ada apa?” tanyaku. Kulihat ekspresi wajahnya berubah sedih.
            “Pia, kalau kamu di sana, kamu sudah siap tinggal jauh dari Mamamu?” tanya Lia pelan.
            “Jauh dari Mama,” gumamku pelan.
v   
            Ruangan sudah gelap. Televisi dan laptop juga sudah dimatikan. Hanya tinggal handphone yang sesekali berbunyi karena ada chat masuk. Tapi aku rasa, sekarang orang yang ada di sana juga sudah mulai tertidur. Hanya aku yang malam-malam begini belum juga terlelap.
            Berbagai posisi tidur sudah ku coba, mulai dari telentang, miring, tengkurap, sampai duduk. Tetap saja kedua mataku ini belum mau istirahat. Pikiranku masih bekerja, ada yang mengganjal di benakku. Ya, perkataan Lia tadi siang masih melekat di benakku. Susah pergi dan tak mungkin juga aku menghiraukannya. Akhirnya ku putuskan untuk bangkit dari kasur empuk itu, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu.
            Aku sudah kembali dan siap untuk shalat istikharah, meminta petunjuk harus seperti apa. Kuliah di Bogor dan jauh dari Mama atau melupakan impianku demi tinggal dengan Mama?
v   
            Aku melangkah dari kamarku. Aku menatap ke ruangan itu. Ruangan yang lumayan besar untuk kaluargaku. Di tempat itu sudah ada perempuan berhijab syar’i tengah menata piring dan makanan di meja makan berwarna putih susu itu. Tampak seorang laki-laki berkumis tipis sudah siap duduk di kursi itu. Tiba-tiba perempuan itu memanggilku.
            “Pia, kamu sedang apa di sana? Ayo kita sarapan. Mama buat masakan kesukaanmu,” ucap Mama kepadaku yang masih berdiri di ambang pintu kamar.
            Aku mendekat dan duduk di kursi, tepatnya di hadapan Mama. Aku menatap Mama dan Papa, lalu mengitarkan pandanganku. Ruang makan ini memang besar, karena hanya diisi oleh tiga orang saja. Jika dulu ada ketiga kakaku yang membuat ramai ruang makan ini, sekarang mereka semua sudah menikah dan tidak tinggal di rumah ini. Alhasil, hanya ada Papa, Mama, dan aku yang duduk di ruang makan. Lalu bagaimana jika aku ikut pindah dari rumah?
            “Pia,” panggil Mama. “Kamu kenapa melamun?” tanya Mama.
            Aku menggeleng. “Nggak ada apa-apa kok Ma,” jawabku singkat. Rupanya Mama memerhatikanku. “Ma, aku mau tumis kacang panjang,” ucapku mengganti pembicaraan.
            Mama mengambilkan tumis kacang panjang itu di atas piringku. Tumis kacang panjanng adalah salah satu makanan kesukaanku. Biasanya aku akan habis melahap nasi dengan lauk itu. Tapi pagi ini, nafsu makanku hilang, beban itu masih mengganjal. Lagi-lagi tatapan Mama mengarah kepadaku.
            “Pia, kamu kenapa? Kamu ada masalah?” tanya Mama.
            Aku mengangguk, “Pa, Ma, Pia mau cerita.”
            “Yasudah cerita saja,” jawab Papa singkat.
            Aku menatap Papa dan Mama. Ku perhatikan wajah kedua orangtuaku berubah. Tidak seperti lima tahun lalu. Ku lihat wajah Mama. Garis-garis penuaan sudah tampak di sekitar pipinya. Begitu juga kerutan di dahi Mama. Aku memerhatikan wajah Papa juga sama. Ada kerutan di dahinya, dan rambut putih yang ikut meramaikan rambut di kepala Papa. Ah, aku baru kali ini memerhatikannya. Papa dan Mama sudah mulai tua, lalu siapa yang akan merawatnya jika aku pergi meninggalkan mereka? Aku pun terlahir sebagai anak bungsu yang sangat manja dengan mereka. Yang selalu minta ikut kemana pun mereka pergi. Lalu aku sekarang dengan teganya pergi meninggalkan mereka?
            “Pa, Ma, jika aku pindah dari sini gimana?” tanyaku pelan. Aku terpaksa memberanikan diri bertanya demikian.
            Papa menatapku heran. “Maksudnya? Kamu mau pindah kemana?” Papa menaikkan sebelah alisnya.
            Aku menundukkan wajah. Mataku sudah berkaca-kaca. “Aku harus menyelesaikannya.” Dorongan hatiku berkata demikian.
            Mama menatapku. “Pia, kamu mau pindah.” Suara Mama terdengar pelan di telingaku. Seolah Mama menahan suaranya.
            “Pa, Ma, aku di terima di PTN daerah Bogor. Aku lulus seleksi. Papa dan Mama kan tahu kalau aku dari dulu ingin banget kuliah di kampus itu. Tapi gimana dengan Papa dan Mama?” walaupun berat, kata-kataku itu keluar juga.
            Papa menghela napas. “Jangan pikirkan kami. Pikirkan cita-citamu,” ucap Papa dengan suara beratnya.
            “Pia, anak Mama. Mama dukung cita-citamu walaupun Mama nggak yakin sanggup berpisah jauh dari kamu.” Mama memberikan jawaban itu. Ada nada terpaksa di sana.
            Sedangkan Papa menyiku lengan Mama. “Kalau kamu kangen Mama dan Papa, kan bisa telepon atau sms. Percaya Papa Mama nggak kenapa-kenapa kok,” jawab Papa tegas.
            “Makasih Ma, Pa,” ucapku pelan. Air mata mengalir di pipiku.
v   
            Hari sudah agak siang. Matahari menyorot bumi. Memberi semangat baru dalam hidup.
            Aku menarik koper hitam itu. Membawanya ke dalam mobil. Mobil hitam itu juga sudah dinyalakan. Ku lihat Papa sudah siap mengendarai kendaraan itu. Sedangkan Mama dari tadi hanya berdiri di teras rumah. Perempuan itu menatapku nanar. Aku dapat melihat tangis yang dia tahan di pelupuk matanya. Aku dapat merasakan berat hati yang dia alami saat ini.
            Jujur saja, aku juga merasakan hal yang sama. Aku tidak sanggup jauh dari Mama. Aku tidak bisa. Aku menatap Mama lekat. Aku teringat jawaban shalat istikharahku beberapa minggu ini. Aku berusaha menguatkan diriku. Apapun yang terjadi, mungkin inilah pilihan Allah untukku. Allah maha mengetahui. Allah punya rencana lain.
            Aku menatap Papa lekat. “Pa, aku nggak jadi ke Bogor,” ucapku tegas.
            Papa melihatku heran. “Kenapa?” dia mematikan mesin, lalu turun dari mobil dan berjalan mengikutiku yang melangkah menghampiri Mama.
            Aku mendekat, lalu memeluk Mama erat. “Ma, maafkan Pia. Pia nggak bisa tinggal jauh dari Mama. Pia nggak sanggup Ma,” ucapku sambil memeluk perempuan yang menjadi pahlawan bagiku.
            Mama melepas pelukan itu. Dia menatapku lekat. “Nggak usah pikirkan Mama. Pikirkan tentang kamu,” ucap Mama dengan suara serak. Mata Mama terlihat berkaca-kaca.
            “Ma, sebetulnya aku juga belum yakin dengan pilihanku kuliah di Bogor. Setelah shalat istikharah, hatiku lebih condong kepada Mama dan Papa. Aku berat untuk pergi.” Sekarang malah suaraku yang terdengar serak.
            “Tapi Mama nggak mau kamu menyesal.” Lagi-lagi Mama terlihat kuat, padahal hatinya sedih.
            “Pa, Ma, aku bisa kuliah di Jakarta. Kalau ada rejeki, aku bisa S2 di Bogor.” Aku berusaha meyakinkan Mama.
            “Papa dukung keputusanmu Pia,” ucap Papa kepadaku sambil menepuk pundakku.
            “Pa, Ma, buat aku, semakin dewasa itu bukannya dengan cara aku belajar mandiri jauh dari Papa Mama, tetapi dengan tetap berada di samping Papa Mama. Merawat Papa dan Mama. Karena apa? Papa dan Mama adalah nafas untukku.” Aku menatap Mama lekat.
            Perlahan Mama mengangguk dan setuju bahwa aku akan tetap tinggal bersama Papa dan Mama. Karena Papa dan Mama nafasku.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar