Lilin
Langit
sore tampak gelap. Awan-awan yang tadi berwarna putih mulai tersingkir menjadi
hitam yang tersebar di mana-mana. Kilatan cahaya menyeramkan juga muncul,
disusul gemuruh nyaring di angkasa. Kemudian awan kelabu itu menangis hebat.
Hujun pun turun deras.
Gadis
itu menatap jendela besar yang ada di sisi kiri tempat tidurnya. Menampakkan
keadaan di luar yang menyeramkan. Jendela itu belum sempat tertutup gorden, karena gadis itu baru saja
selesai membersihkan tubuhnya dan saat ia memasuki kamar, ia baru sadar dengan
kaedaan itu.
Gadis
itu hanya dapat duduk meringkuk. Ia memeluk kedua kakinya. Dagunya ia tempelkan
di lutut. Kedua matanya ia pejamkan erat. Rambutnya yang berponi turut menutupi
alisnya. Gadis itu sangat gelisah. Sekilat bayangan kelam mulai menghantui
dirinya.
Hujan
semakin deras saja. Tiupan angin yang kencang seolah mampu merobohkan pepohonan.
Lalu suara petir terdengar dahsyat, seperti menyambar bumi. Sedetik kemudian
pun lampu padam.
“Tante……..”
gadis itu berteriak.
Ruang
tidur yang tadi terang, kini menjadi gelap. Tidak terlihat apapun. Tidak ada
seorangpun selain dirinya di kamar itu. Ruangan yang gelap membawanya kembali
pada masa lalu. Otaknya seperti pita kaset yang sedang diputar mundur. Gadis
itu melihat kisah itu lagi. Sebuah kisah hidupnya yang membuatnya trauma seperti ini. Rasa sepi kian
menjuluri tubuhnya. Gadis itu semakin erat memeluk kedua kakinya.
Tiba-tiba
pintu kamar terbuka. “Renata.” Suara lembut menyapa dalam kegelapan.
Gadis
itu perlahan membuka kedua matanya. Ia mengerjapkan mata, mencari sosok itu. Ia
menemukan perempuan itu di hadapannya. Menatapnya cemas.
“Tante,
Renata takut. Tante Nilam di sini aja. Tante jangan kemana-mana,” ucapnya
dengan suara bergetar. Wajahnya masih menampakkan rasa trauma.
“Iya
sayang. Tante ada di sini untuk kamu,” ucapnya lembut. Perempuan itu langsung
memeluk gadis itu. Membawanya dalam dekapannya agar lebih tenang.
Tante
Nilam. Seseorang yang hanya Renata miliki setelah kedua orang tuanya telah
tiada karena kisah mengerikan itu. Selama ini, Renata diasuh oleh Tante Nilam,
adik dari ibunya.
v
Gadis
berponi itu menatap kalender meja di atas meja belajarnya. Tatapannya terpaku
pada tanggal yang ia lingkari dengan warna merah. Tepat pada hari ini, tanggal
itu, hari ulang tahunnya.
Rasanya
sudah lama sekali ia tidak lagi merayakan ulang tahun. Semenjak kejadian itu,
ia takut akan semua hal tentang ulang tahun. Ia takut dengan kue juga lilin.
Ya, lilin itu yang membuatnya trauma.
Sepuluh
tahun lalu, saat usianya menginjak tujuh tahun, kejadian itu terjadi. Pada hari
ulang tahunnya, kedua orangtuanya memberinya kue ulang tahun lengkap dengan
lilin kecil di atasnya. Awalnya semua berjalan manis, kue ulang tahun yang
cantik, lagu dan tepukan selamat ulang tahun, juga beberapa kado yang dibungkus
indah. Tetapi tiba-tiba lampu padam. Ruangan menjadi gelap. Pesta terhenti.
Mama bergegas mengambil sebatang lilin dan menyalakannya. Ia menyuruh gadis
kecil itu tidur dan menaruh lilin itu di sisi kiri tempat tidur, di atas meja.
Api hangat itu bergoyang ke kanan dan kiri, lalu merambat ke gorden berwarna
pink yang letaknya sangat dekat dengan api. Api kian membesar. Gadis kecil itu
terbangun, ia melihat api menjadi ganas, memakan seisi ruangan. Napas gadis
kecil itu terasa sesak, terlalu banyak asap yang ia hirup. Sosok Papa
menghampiri. Ia menggendong gadis itu dan membawanya keluar rumah. Namun Papa
kembali ke dalam menyelamatkan Mama yang masih terjebak di rumah. Sayangnya,
api sudah semakin membesar. Papa dan Mama terjebak di dalam rumah, dan naas,
Papa dan Mama tidak dapat diselamatkan.
Renata
mendesah pelan. “Seandainya Papa dan Mama masih ada. Seandainya Papa dan Mama
bias melihatku di hari ulang tahunku yang ke-17 tahun,” ucapnya lirih. Setetes
air mata terjatuh. Gadis itu segera menghapusnya, lalu beranjak meninggalkan
kamar.
v
“Renataaaaa.”
Gadis
itu baru saja mendudukkan tubuhnya di bangku ketika dua remaja menyambutnya
dengan teriakan heboh.
“Yaampun.
Kalian apaan sih,” ucapnya datar.
“Happy Birthday Renata.” Gadis-gadis itu
mengucapkan selamat kepada Renata. Mereka memberi selamat.
Remaja
itu tersenyum manis. “Thanks ya,
kalian sudah selalu ada untukku,” jawabnya lembut.
“Oh
iya Re, kamu dapat undangan nih.” Ucap gadis berambut sebahu itu.
“Dari
siapa?” tanya Renata. Gadis itu menaikkan sebelah alisnya.
Gadis
berambut sebahu itu menopang dagu di atas meja Renata. “Mmmm mau tahu aja, atau
mau tahu banget?” ucapnya membuat Renata penasaran. Ia malah menggoda temannya
yang sedang berulang tahun itu.
Renata
mencemberutkan bibirnya. Memasang wajah bt. “Cepetan Amel. Ada undangan apa?
Siapa yang undang? Jangan biasa membuat aku penasaran deh.”
Amel
terkekeh. Gadis itu memang paling senang melihat teman-temannya penasaran.
“Oke, Amel kasih tahu.” Ucapan gadis itu terhenti. Ia menatap wajah temannya
yang tak sabar menunggu jawaban. “Kamu dapat undangan dari Restu. Restu akan
mengadakan acara ulang tahunnya yang ke-17 di café gaul. Cieee Renata,” ucapnya seraya tertawa kecil.
Renata
tersenyum malu. Rona mukanya tiba-tiba berubah menjadi merah muda, setiap
mengingat cowok itu.
Restu.
Cowok berpostur tubuh tinggi, tegap, kulitnya sawo matang, membuat beberapa
remaja menyukainya. Termasuk Renata, gadis cantik dengan potongan rambut
poninya. Cowok itu memang memiliki tanggal lahir yang tidak jauh dari Renata.
Hanya berbeda satu minggu saja. Restu juga temannya dari SMP. Ia juga tahu
tentang gadis itu, termasuk trauma yang
dialami Renata.
Amel
menepuk pelan pundak Renata. “Ciee yang mikirin Restu,” ledek gadis itu, ceria.
Renata
tersadar dari lamunannya. Ia menatap dengan pandangan sedih. “Tapi aku takut.
Kamu kan tahu aku trauma dengan itu
semua. Kue, lilin, juga kegelapan pesta.” Gadis itu berbicara dengan suara
bergetar. Mengingat lagi masa lalunya.
“Kamu
nggak boleh gitu Renata. Kamu harus bisa melupakan trauma itu. Aku yakin kamu bisa. Kejadian di masa lalu kamu itu
sudah takdir Allah. Jadi kamu harus melawan rasa takut itu ya.” Gadis berhijab
itu menguatkannya. Memberinya nasehat.
“Makasih
Aisyah. Aku akan coba untuk nggak takut,” jawabnya pada gadis berhijab itu.
“Kita
sayang Renata.” Ucap kedua gadis itu, seraya memeluk sahabatnya erat.
v
Remaja berponi itu
menatap café tersebut ragu. Kakinya
terasa berat untuk melangkah ke dalam.
Aisyah menatap sahabatnya
perihatin. “Kenapa berhenti Re? Ayo masuk,” ajaknya sambil menarik lengan gadis
itu.
“Tapi…” gadis itu masih
saja bimbang.
“Restu sudah nunggu di
dalam tuh,” ceplos Amel. Ia selalu punya cara untuk membuat Renata tertawa.
Gadis itu tersenyum. Ia
akhirnya melangkah masuk. Gadis itu mengamati seisi ruangan. Café dengan
dinding berwarna coklat bercampur krem, terlihat hangat. Namun entah kenapa ia
malah tidak nyaman. Rasa khawatir kembali lagi.
Restu berdiri di tengah
ruangan. Cowok itu mengenakan jeans,
sepatu kulit berwarna coklat, dan atasannya baju lengan panjang dengan motif
garis putih coklat. Cowok itu menatap jam yang melingkari pergelangan
tangannya, menunggu seseorang.
Renata, Aisyah, dan
Amel menghampiri cowok itu. Renata mematung di hadapan cowok manis itu. Tatapannya
seolah tak berkedip. Namun secepatnya ia tersadar. Gadis itu pun memberikan
sebuah kotak kado berukuran sedang. Aisyah dan Amel juga memberikan kado kepada
cowok itu.
“Happy birthday Restu,” ucap Renata, lembut. Gadis itu menjabatkan
tangannya. Mengucapkan selamat kepada cowok yang berdiri di hadapannya.
“Thanks ya Re. oh iya, aku ada kado untuk kamu,” ucap cowok itu.
“Oh ya? Mana?” balas
Renata dengan wajah merona. Bibirnya menyunggingkan senyum.
“Tunggu sebentar,”
jawabnya singkat.
Tiba-tiba lampu padam.
Tidak terlihat apapun di dalam ruangan. Gadis itu panik. Ia berusaha mencari
teman-temannya.
“Amel, Aisyah? Kalian
di mana?” suaranya terdengar panik.
“Tenang Renata, ada aku
di sini.” Restu berusaha menenangkannya. Cowok itu menggenggam jemari gadis
tersebut.
Renata menitikan air
mata. “Restu. Aku takut,” ucapnya lirih.
“Kamu nggak perlu
takut. Aku akan selalu menemani kamu,” jawab Restu, tegas.
“Maksud kamu?”
Lampu kembali hidup.
Renata dapat melihat semuanya. Tiba-tiba ia dan Restu sudah ada di tengah
kerumunan teman-temannya. Ia masih shock
dengan kejadian barusan. Sekarang ia bingung kenapa semua temannya menatapnya.
Cowok itu menatap gadis
di hadapannya. “Kamu mau tahu nggak kado dari aku apa?” tanyanya seraya
menyunggingkan senyum.
Renata hanya
mengangguk.
“Kamu lihat ke sana,”
ucapnya seraya menunjuk ke sebuah lantai.
Gadis itu menatap
lantai tersebut. Ia mengerjapkan matanya. Bagaikan mimpi. Kini jantungnya
terasa berdebar lebih kencang. Rangkaian tulisan I love you yang terbuat dari lillin-lilin.
“Maukah kamu menjadi
pacar aku? Aku akan selalu setia bersama kamu,” ucap cowok itu tiba-tiba. Ia
menanti penuh harap.
“Apa kamu nggak malu
dengan traumaku itu?” tanya Renata.
Ia menimbang-nimbang. Gadis itu malu dengan sikap anehnya.
“Aku nggak malu. Aku
sayang kamu,” jawabnya pasti. “Gimana?” tanyanya sekali lagi.
Renata mengangguk. “Ya,
aku mau jadi pacar kamu,” ucapnya pelan. Rasa haru menyelimuti
hatinya.
Restu memeluk gadis itu
erat. “Jangan takut Renata. Aku akan membantumu melupakan trauma itu,” ucapnya meyakini gadis yang ia sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar